Harry Potter - Golden Snitch Kumpulan Cerpen Menarik: Kamar Sebelah {Part 2}
Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Sabtu, 03 Oktober 2015

Kamar Sebelah {Part 2}



Aku diam sebentar dan mengatur nafas. Anehnya, Paman dan Arine yang tidur di sebelah ruangan tidak mendengarku sama sekali. Ayah, ibu atau Kak Dona pun tidak datang menghampiriku, padahal teriakanku sangat keras.

Saat diam beberapa detik, tahu-tahu lampu sudah menyala kembali. Aku tersentak kaget. Tapi anehnya, lampu di ruangan itu sangat pudar dan berwarna kuning. Padahal sebelumnya lampu berwarna putih terang. Aku masih menghadap ke pintu, berjalan mundur perlahan-lahan ke belakang. Debu dan sarang laba-laba menghiasi setiap sudut tembok, membungkus lemari dan peralatan yang ada di sana. Lantai yang kupijak sangat kotor dan berpasir. Aneh sekali. Aku merasa seperti berada di masa lampau.

Masih dengan keheranan, aku berbalik menghadap jendela besar. Tiba-tiba ada sesuatu yang hampir membuat jantungku lepas. Ada sesuatu yang membuat urat nadiku hampir putus, membuat kakiku bergetar hebat karenanya. Mulutku menganga lebar, mataku terbelalak. Aku seperti disambar petir.

Ya. Di sana, di jendela itu, sebuah sosok anak perempuan seumuranku tergantung melayang dengan tali tambang melilit di lehernya. Dia menghadap ke arahku. Gadis itu memakai baju daster hingga ke lututnya. Seluruh tubuhnya berwarna putih pucat, rambut hitamnya yang panjang sebahu tergerai menutupi sebagian wajahnya. Tetapi dapat kulihat dengan jelas matanya melotot lebar seolah-olah akan keluar.

Mulutnya terbuka sedikit, dan darah mengalir lembut melalui hidung dan mulutnya. Kakinya yang bergelantungan dan bergerak sedikit ketika ada angin kencang menerpa.

Aku menjerit kencang sekali. Ini bukan rumahku. Ini bukan ruangan itu.

Kubawa kaki ini berlari menghampiri pintu dan memaksa tanganku membuka pintu itu. Tetapi pintu tetap terkunci. Aku panik. Sangat panik.
“AYAH! IBU! TOLONG AKU!!”

“Tolong aku … “

Di sudut ruangan itu, Lyssa merapatkan kedua lututnya, menunduk, dan menangis lagi. Sudah lebih dari seminggu ia disekap di dalam kamar kosong tanpa ada yang menemani seorang pun. Hanya dua buah obor yang terpajang di dinding, menyinari sedikit ruangan itu. Cahaya bulan merembes masuk melalui jendela besar di belakangnya.

Sudah banyak korban berjatuhan. Dan yang mengalami pasti selalu anak perempuan. Dan kini, Lyssa pun ikut terpilih. Semula ia tak terlalu mengerti hal itu, namun ketika ada sekelompok pria tak dikenal menawarkan permen dan boneka, Lyssa terbujuk dan menuruti perintah pria-pria itu. Lyssa dibawa ke suatu tempat yang jauh sekali dari rumahnya. Ia disuruh masuk ke dalam sel yang penuh dengan jeruji mirip seperti penjara. Di sana, banyak sekali anak-anak perempuan seumurannya yang sedang duduk membungkuk. Wajah mereka sangat memelas, seolah tidak ada harapan yang akan menyelamatkan mereka dari kengerian itu. Mereka semua sangat kurus dan cekung.

Dan inilah awal malapetaka yang dialami Lyssa. Gadis cantik itu harus menerima siksaan yang amat sangat menyakitkan. Ia tidak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya padahal di kejauhan sana, orang tua Lyssa sangat panik mengetahui anaknya hilang. Sirine mobil polisi terdengar di mana-mana. Sementara surat kabar tak henti-hentinya menampangkan berita itu; “Penculikan Anak Terus Berlanjut”.

Satu per satu anak di dalam ruangan itu dipanggil dan dijual ke luar negeri. Lyssa tidak tahu tentang itu. Yang ia tahu, pasti anak yang dipanggil akan dibawa pergi ke tempat yang sangat jauh, dan di sana akan dijadikan budak dan disiksa terus menerus.

Dan sekarang tepatnya tanggal 29 Februari, tinggal Lyssa yang terakhir berada di sel itu. Keheningan malam sangat mencekam dan menyiksa dirinya. Baju daster se-lutut sudah dipakainya selama seminggu. Ia juga menggigil kedinginan. Angin kencang terus menerpa hingga tulang-tulang kurusnya.

Sebelumnya, Lyssa dan beberapa anak lainnya sudah berusaha untuk kabur. Mereka dengan susah payah membuka jendela besar yang digembok dan dirantai. Tetapi suatu kali mereka berhasil. Mereka bisa membuka jendela itu, namun ketika melihat ke bawah, hanya sungai kotor dan hutan yang tampak. Belum lagi ketinggiannya mencapai beberapa meter, dan anak-anak itu terlalu takut untuk meloncat ke bawah. Pada saat itu juga, angin di luar berhembus kencang hingga membanting jendela besar itu. Suaranya sangat keras seperti gempa. Salah satu pria yang ada di bawah langsung berlari menaiki tangga dan memarahi anak-anak itu.

Tiba-tiba Lyssa berpikir, apa yang harus ia lakukan agar ia tidak seperti anak-anak lainnya. Bagaimana cara agar ia dapat menghindar dari semua itu. Ia sangat marah. Marah pada dirinya. Seharusnya, anak berumur 10 tahun sudah bisa menjaga diri sendiri. Ia menyesal kenapa tidak memikirkan baik-baik nasihat orang tuanya. Dan juga anak-anak lainnya. Mereka semua sangat bodoh dan tolol.

Malam itu, Lyssa mengamuk-ngamuk sendiri. Ia menangis, menendang-nendang tembok, meloncat-loncat, mendumel sendiri, dan berteriak-teriak seperti orang gila. Tiba-tiba ia melihat sejumput tali tambang di sudut ruangan. Tangisnya mendadak berhenti. Ia berpikir, ia pasti bisa melakukan sesuatu dengan tali itu. Pasti. Lyssa tersenyum, dan tertawa terbahak-bahak. Ia terus tertawa sambil berjalan mengambil tali itu. Kemudian ia perhatikan paku yang sudah berkarat yang terpajang di atas jendela besar. Tawa Lyssa meledak lagi.

Gadis malang itu mengambil kursi kayu dan menyimpannya di dekat jendela. Setelah menaikinya, ia mengikat tali tambang pada paku dengan sangat erat. Lalu di ujung lainnya, ia membuat simpul tali melingkar seperti sebuah lingkaran. Kemudian ia berbalik dan memasukkan tali itu ke lehernya. Ia pun membiarkan dirinya bergelantungan di jendela itu, membiarkan nyawanya lepas dari tubuh mungilnya.

Kejadian itu lalu terus terjadi setiap 4 tahun sekali di bulan Februari. Dan bangunan tempat penjualan anak itu pun sudah dibersihkan dan dijadikan sebuah rumah megah. Tetapi jendela besar tetap terpasang rapi di dinding, tanpa meninggalkan sedikitpun sisa-sisa luka seorang anak.

Dan setiap ada anak perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.

Aku tersentak kaget. Nafasku tersengal-sengal, peluh berkucuran di keningku. Kulihat sekelilingku. Aku masih duduk di atas matras, dengan selimut tipis dan bantal keras. Lampu di ruangan itu masih berwarna putih terang, dan sama sekali tak ada debu atau sarang laba-laba di sana. Lantainya juga bersih tidak berpasir. Aku bernapas lega. Apakah ini semua hanya mimpi? Yang kuingat, terakhir kali aku memukul-mukul pintu dan memanggil ayah dan ibuku.

Kugali lagi isi pikiranku. Di dalam mimpiku, aku melihat penderitaan Lyssa. Aku melihat bagaimana sosok gadis itu.

Dan aku mengerti.
Suara anak yang meminta tolong kemarin malam pasti adalah suara Lyssa saat ia disekap di sel. Suara jendela dibanting keras itu tak lain adalah ketika Lyssa mencoba kabur dan membuka jendela, tiba-tiba angin kencang datang membantingnya. Lalu suara tapak kaki orang itu pasti adalah suara langkah pria yang berlari menghampiri sel. Dan sel itu sedang kutempati sekarang. Kejadian itu terus berulang dan menimpa anak perempuan. Syukurlah. Aku bukan anak perempuan.

“Tapi … Tunggu.”
Setiap ada anak perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.

“Anak perempuan.
10 tahun.
Jangan-jangan …”

Dan saat aku berpaling ke belakang, di jendela itu sudah tergantung sesosok anak perempuan yang sangat kukenali.
“ARINE!!!”
                                   {Selesai}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar