Harry Potter - Golden Snitch Kumpulan Cerpen Menarik: Kamar Sebelah {Part 1}
Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Sabtu, 03 Oktober 2015

Kamar Sebelah {Part 1}



“Tobi, tolong simpan kardus-kardus ini ke kamar sebelahmu.” perintah ibu. “Siapa tahu nanti berguna,”

Aku langsung membawa setumpuk lipatan kardus itu ke kamar di sebelahku. Saat itu kami sekeluarga baru pindah, sehingga banyak barang yang harus kami tata. Untung saja rumah baru kami sangat besar dan berlantai dua, jadi kami tidak usah bersempit-sempitan lagi seperti di rumah lama.

Saat aku masuk ke ruangan di sebelah kamarku, jendela besar langsung terpampang di sana tanpa tirai. Aku bisa melihat pemandangan hutan dari sana dengan sangat jelas. Pucuk-pucuk pepohonan melambai-lambai seolah-olah mengajakku untuk pergi ke sana. Tapi memang itu keinginanku. Aku paling suka berkemah atau menjelajahi hutan yang belum kukenal. Dan untungnya, ayah mengizinkanku untuk berkemah di hutan itu.

Siang terus berlanjut. Aku bersama kakak perempuanku, Kak Dona tidak henti-hentinya membantu ayah dan ibu, hingga waktu senja datang menjemput kami. Setelah menutup semua tirai dan membersihkan diri, kami langsung makan malam bersama di ruang makan.

Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika aku bergegas naik ke tempat tidur. Alunan musik rock yang datang dari kamar kakakku sangat menyiksaku saat itu. Meski kamarnya ada di bawah, namun musiknya tetap terdengar sampai ke telingaku.

Aku jadi benar-benar tidak bisa tidur.
Hingga akhirnya terdengar sebuah suara yang datang dari kamar di sebelahku. Sebuah suara yang lumayan keras, dan membuat lantai kamarku bergetar. Aku langsung bangkit dan memasang telinga baik-baik. Itu suara jendela dibanting. Tidak salah lagi. Tapi siapa yang membantingnya?

Dan pada saat itu juga, alunan musik rock dari kamar kakakku berhenti seketika. Suasana menjadi hening. Tetapi tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga dan melewat di depan kamarku. Setelah itu suara langkah kakinya tak terdengar lagi. Kupikir itu adalah Kak Dona yang berlari. Mungkin ia juga mendengar jendela dibanting keras, lalu segera berlari menghampiri kamar sebelahku itu. Akhirnya aku pun keluar dari kamarku.
“Kakak? Kakak ada di sana?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamar sebelahku.

Tidak ada jawaban. Karena penasaran, aku buka pintunya. Ternyata di dalamnya sama sekali tidak ada siapa-siapa, dan jendela besarnya masih tertutup dan terkunci. Aneh sekali, pikirku.

Tiba-tiba ada suara seorang anak perempuan meminta tolong!
“Tolong … Tolong aku … ”

Aku benar-benar terkejut. “Siapa itu?!” kataku

“Tolong aku … “

Aku berpaling ke sana kemari, mencari asal suara itu. Namun aku tidak menemukannya. Dan meski aku sudah berbaring di kamarku, suara menyeramkan itu terus-menerus menghantuiku sepanjang malam. Aku benar-benar ketakutan dan tidak bisa tidur.

“Benarkah?” ujar Kak Dona. “Padahal kan aku membiarkan kaset rock-ku menyala sampai tengah malam.”
“Tidak mungkin. Aku benar-benar mendengar kalau musik rock di kamar kakak mati setelah ada suara jendela dibanting itu. Lalu terdengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga,” jelasku. Saat itu kami sedang makan pagi. Aku ceritakan semuanya kepada kakak, ayah dan ibu.

Ibu hanya tersenyum mendengar perkataanku. “Mungkin kamu hanya bermimpi,”
“Kau tidak biasa dengan rumah ini, sehingga … yah halusinasimu mulai bermain dan mengganggumu.” tambah ayah. “Kalau sudah terbiasa pasti tidak akan begitu,”

Aku mengeluh di dalam hati. Mengapa mereka tidak pernah percaya padaku? Sedangkan pada Kak Dona, semua yang diceritakannya selalu ditanggapi dan dipercaya. Aku dan dia ‘kan hanya beda 3 tahun. Aku kelas 8 SMP, sedangkan dia kelas 2 SMA. Tapi kata teman-temanku, orang yang lebih tua memang lebih dipercaya.
“Oh ya, nanti malam, pamanmu akan datang menginap di sini.” kata ayah membuyarkan lamunanku. “Ia akan datang bersama Arine. Biarkan mereka memilih kamar yang mereka mau untuk ditempati,”

Arine. Ya. Siapa yang tidak mengenal dia. Anak itu sebaya denganku, tetapi punya kelebihan. Dia pintar, manja dan cantik. Orang tuanya yang kaya raya membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Semua yang diinginkannya selalu dipenuhi. Di depan orang tuaku atau orang lain, ia adalah gadis manis yang penuh sopan santun. Tapi di depanku, ia adalah anak yang sombong dan licik.“Kenapa harus memilih? Biar saja mereka tidur di kamar sebelahku.” tukasku kesal.

Ayah menatapku. “Tobi, dengarkan ayah. Pamanmu yang menemukan rumah besar ini. Pamanmu yang meminta pemilik rumah ini agar harga jualnya dipotong sehingga tidak terlalu mahal. Dan pamanmu juga yang membayar setengahnya.” Ayah diam beberapa saat, memperhatikanku lekat-lekat. “Mereka adalah tamu istimewa kita. Jadi jaga sikapmu ketika mereka datang. Kalau kau berbuat yang tidak-tidak lagi, ayah yang menentukan hukumannya. Mengerti?”

Dan malamnya mereka benar-benar datang. Ayah dan ibu mempersiapkan semua ini dengan matang. Makanan mewah dihidangkan di meja makan yang panjang dan besar itu. Semua ruangan dipel, dan Kak Dona mengenakan baju terbaiknya.
Sialnya, Arine memilih kamarku untuk ditempati.

Aku terpaksa tidur di kamar menyeramkan itu hanya dengan satu buah matras, selimut tipis dan sebuah bantal yang keras. Menyebalkan. Arine hanya tersenyum puas sambil bertolak pinggang saat ia memilih kamarku dan melihatku merengut karenanya.

Malam tiba. Seperti biasa, aku tidak bisa tidur. Lampu tidak kumatikan, dan kubiarkan selimut membungkusku hingga ke hidungku. Aku tetap terjaga. Rasanya waktu berputar cepat sekali. Pukul 9, pukul 10, pukul 11. Dan aku tetap tak bisa tidur. Telinga kupasang baik-baik. Tetapi saat itu sama sekali tak ada suara apa-apa. Satu jam pun berlalu. Tidak, tidak satu jam. Tetapi pukul 11 lewat 59 menit 55 detik. Jam dinding terus kuperhatikan dan kuhitung detiknya. 56, 57, 58, 59 … Dan saat itu, lonceng jam di ruang tamu berdentang keras. Itu sedikit membuatku terkejut. Aku benar-benar tak percaya. Ini-lah pertama kalinya dalam seumur hidup aku tidak tidur hingga pukul 12 malam.

Tiba-tiba sesuatu terjadi.

Lampu kamarku dalam sekejap mati, dan aku sangat ketakutan. Aku berlari menghampiri pintu dan berusaha membukanya. Tetapi tidak bisa. Terkunci! Padahal pintu itu tak ada kuncinya sama sekali. Aku terus memaksa membukanya dan menggedor-gedor pintunya.
“Tolong!” teriakku panik. “Tolong aku! TOLONG!”
Di sekelilingku benar-benar gelap, hitam, dan hanya sedikit cahaya yang masuk melewati jendela besar di sana. Aku tak henti-hentinya menggedor pintu. Pikiran-pikiran tentang makhluk halus atau hantu mengiang di pikiranku.

{Bersambung...}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar