Genre : Horror
Lalu dengan
gerakan cepat Riyong melompat tinggi dan terbang ke arah ku. Dengan sigap Soju
mengikutinya dan menarik tangannya. Akhirnya mereka berdua jatuh di belakang
ku. Aku dan teman-temanku yang lain tidak mengetahui ini, kami tidak bisa
melihat mereka. Tapi aneh rasanya aku bisa bercerita seperti ini padahal aku
tidak bisa melihat mereka. Ini semua atas cerita Arin, yang belakangan baru
menceritakannya kepada ku. Arin memang memiliki kelebihan yang unik di banding
manusia lainnya. Ia dapat melihat mahluk yang berbeda dimensi dengan manusia.
Seperti setan, termasuk jin.
“Bangsa kita memiliki aturan tentang ini kan. Kamu lupa?” ucap Soju.
“Aku akan membawanya ke dunia jin.” ucap Riyong.
“Janganlah ikut campur dalam urusan bangsa manusia.” ucap Soju seraya pergi berjalan meninggalkan tempat itu.
“Yaaa!!” teriak Riyong marah. Lalu angin kecang langsung berhembus, ranting-ranting pohon di hutan bergoyang mengikuti amarah Riyong. Pusaran angin sperti tornado kecil pun terbentuk mengelilingi Riyong. Pusaran angin itu bergerak menuju Soju, Riyong berada di dalam pusaran itu. Pusaran itu mengahantam keras tubuh Soju dan menariknya ke dalam pusaran. Di dalam pusaran itu Soju dan Riyong saling bertatapan, tatapan Riyong penuh amarah.
“Kau. Memangnya aku pernah mencampuri urusan mu?!” teriak Riyong.
Soju yang takut hanya bisa diam.
“Bangsa kita memiliki aturan tentang ini kan. Kamu lupa?” ucap Soju.
“Aku akan membawanya ke dunia jin.” ucap Riyong.
“Janganlah ikut campur dalam urusan bangsa manusia.” ucap Soju seraya pergi berjalan meninggalkan tempat itu.
“Yaaa!!” teriak Riyong marah. Lalu angin kecang langsung berhembus, ranting-ranting pohon di hutan bergoyang mengikuti amarah Riyong. Pusaran angin sperti tornado kecil pun terbentuk mengelilingi Riyong. Pusaran angin itu bergerak menuju Soju, Riyong berada di dalam pusaran itu. Pusaran itu mengahantam keras tubuh Soju dan menariknya ke dalam pusaran. Di dalam pusaran itu Soju dan Riyong saling bertatapan, tatapan Riyong penuh amarah.
“Kau. Memangnya aku pernah mencampuri urusan mu?!” teriak Riyong.
Soju yang takut hanya bisa diam.
Angin yang besar
tiba-tiba bertiup di saat kami sedang asik bercengkrama di pinggir tebing
ditemani sinar matahari pagi yang menyehatkan.
“Aduh, anginnya besar banget.” ucap Dera.
Wajah Arin tampak agak ketakutan.
“Mau balik ke tenda?” tanya ku pada mereka.
“Ma, sebenernya, dari tadi…” ucap Arin ragu.
“Kenapa?” tanya ku.
“Sebernya, dari tadi, ada mahluk halus yang ngikutin kamu.” jelasnya.
“Hah?!” respon ku dan juga semua temanku di situ merespon dengan ucapan yang sama. Kami semua shock.
“Saat kamu muntah tadi, di depan tenda, sebenernya ada sosok pria gaib berjubah hijau yang megang pundak kamu. Terus barusan, angin itu, angin besar itu ulah mahluk berjubah hijau itu. Sepertinya ia jin penunggu gunung ini. Aku rasa dia punya niat buruk ke kamu, Duma.” jelas Arin dengan wajah agak pucat.
Aku terpaku, tubuhku gemetar, tanganku dingin. Aku hanya menatap kosong ke arah Arin setelah ia menceritakannya. Semua teman-temanku memasang wajah bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku mau pulang.” ucap ku dengan pandangan kosong.
“Ini. Pakai ini.” ucap Arin sambil melepaskan kalungnya. “Kalung ini bisa menjauhkan mahluk halus dari yang memakainya. Ini pemberian nenekku yang juga bisa melihat mahluk halus.” lalu ia mengalungkannya di leherku.
“Ya sudah, kalau begitu kita pulang siang ini.” ucap Siel.
“Aduh, anginnya besar banget.” ucap Dera.
Wajah Arin tampak agak ketakutan.
“Mau balik ke tenda?” tanya ku pada mereka.
“Ma, sebenernya, dari tadi…” ucap Arin ragu.
“Kenapa?” tanya ku.
“Sebernya, dari tadi, ada mahluk halus yang ngikutin kamu.” jelasnya.
“Hah?!” respon ku dan juga semua temanku di situ merespon dengan ucapan yang sama. Kami semua shock.
“Saat kamu muntah tadi, di depan tenda, sebenernya ada sosok pria gaib berjubah hijau yang megang pundak kamu. Terus barusan, angin itu, angin besar itu ulah mahluk berjubah hijau itu. Sepertinya ia jin penunggu gunung ini. Aku rasa dia punya niat buruk ke kamu, Duma.” jelas Arin dengan wajah agak pucat.
Aku terpaku, tubuhku gemetar, tanganku dingin. Aku hanya menatap kosong ke arah Arin setelah ia menceritakannya. Semua teman-temanku memasang wajah bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku mau pulang.” ucap ku dengan pandangan kosong.
“Ini. Pakai ini.” ucap Arin sambil melepaskan kalungnya. “Kalung ini bisa menjauhkan mahluk halus dari yang memakainya. Ini pemberian nenekku yang juga bisa melihat mahluk halus.” lalu ia mengalungkannya di leherku.
“Ya sudah, kalau begitu kita pulang siang ini.” ucap Siel.
Siang ini
cuaca cukup bersahabat. Matahari tidak begitu terik tapi tidak juga mendung.
Kami berdelapan berjalan menuruni gunung dengan perkiraan akan sampai di bawah
sebelum sore. Aku berjalan di depan dengan Nana dan Dera. Siel dan Arin
mengikuti di belakang kami. Abdul, Axzien dan Riri ada di paling belakang. Arin
menyusul dan berjalan di sampingku, ia memepetkan tubuhnya padaku.
“Ada dua jin pria yang berjalan di belakang mengikutimu.” Bisik Arin.
Aku tertegun. Aku reflek menghentikan langkahku.
“Kamu kenapa, Duma?” tanya Dera.
“Gak apa-apa.” jawabku dan kembali melanjutkan langkahku. Sepanjang perjalanan turun aku hanya diam. Begitu pun Arin yang berjalan di belakangku. Ia hanya terdiam.
“Ada dua jin pria yang berjalan di belakang mengikutimu.” Bisik Arin.
Aku tertegun. Aku reflek menghentikan langkahku.
“Kamu kenapa, Duma?” tanya Dera.
“Gak apa-apa.” jawabku dan kembali melanjutkan langkahku. Sepanjang perjalanan turun aku hanya diam. Begitu pun Arin yang berjalan di belakangku. Ia hanya terdiam.
Selesai mandi
sore, walaupun sekarang sudah malam, juga dengan keramas, badan terasa sangat
segar setelah baru pulang dari kemping yang tidak mandi sama sekali. Sepanjang
perjalanan pulang aku dan Arin sama sekali tidak bicara, sepatah kata pun. Aku
tidak berani melihat wajahnya. Aku takut dia akan memberikan informasi tentang
jin itu, terlebih jika informasi itu membuat ku gemetar.
Tapi sedari aku sampai di rumah tadi sore, hingga malam ini sekitar pukul 8, aku masih memikirkan jin itu. Apakah dia masih mengikuti ku? Sampai mana dia mengikuti ku? Kenapa dia mengikuti ku? Ada banyak pertanyaan ku pada Arin, tapi aku takut menannyakannya. Tapi karena penasaranku, aku memberanikan diri menelpon Arin malam ini.
“Arin?” ucap ku.
“Duma.” jawabnya.
“Aku mau tanya sesuatu ke kamu.” ucap ku dan terdiam sejenak meragu. “Jin itu, dia masih mengikuti ku?”
“Tadi aku menelpon nenek ku, dan meminta ia menrawang ke tempat berada. Nenek aku bilang kamu masih diikuti.” jelas Arin.
Benar saja jawaban yang tidak ingin ku dengar baru saja mampir di telingaku. Aku langsung merinding, lalu aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar.
“Sebenarnya juga, saat kita turun gunung tadi. Aku melihatnya.” ujar ku.
“Kamu? Melihat? Sosoknya?”
“Um.” jawabku meng-iya-kan.
“Seperti apa?”
“Hstt…” aku menarik nafas dari mulut. “Aku tidak lihat jelas, tapi sepertinya matanya berwarna hijau, hidungnya mancung dan dia berponi. Poninya gaul banget. Mirip poni justin bieber. Dia juga pakai kain warna hijau. Dia berjalan di samping ku, melangkah seiring langkahku. Tapi ketika aku menoleh ke samping, aku tidak melihat apa-apa. Hanya Dera di samping ku.” Jelas ku panjang lebar, dengan mendetail sebisa ingatan ku.
“Iya benar. Itu juga sosok yang aku lihat. Tapi… kenapa kamu bisa melihatnya. Mungkin indera keenam mu yang mulai peka karena selalu diikuti olehnya mungkin juga jin itu sendiri yang membuat dirinya Nampak untuk matamu.” jelasnya.
“Ah begitu rupanya. Barusan saat aku mandi, aku juga merasa ada yang memperhatikan ku. Aku gak tau itu perasaan aku saja atau gimana. Makanya aku cepet-cepet udahan mandinya tadi.” ceritaku.
“Ini gak bisa dibiarin. Ma.” ucapnya. “Nenekkku bilang kamu sebaiknya datang saja ke rumah nenek, dia akan membantu mu mengusir jin itu.”
“Hm. Baiklah. Tapi bicara tentang nenek mu, aku jadi ingat kalung ini. Kenapa jin itu masih tetap bisa mengikuti ku padahal aku sudah mengenakan kalung ini ya?”
“Itu juga yang aku bingungkan.” ujar Arin. “Jadi kapan kamu bisa ke rumah nenek ku? aku akan mengantarmu.”
Tapi sedari aku sampai di rumah tadi sore, hingga malam ini sekitar pukul 8, aku masih memikirkan jin itu. Apakah dia masih mengikuti ku? Sampai mana dia mengikuti ku? Kenapa dia mengikuti ku? Ada banyak pertanyaan ku pada Arin, tapi aku takut menannyakannya. Tapi karena penasaranku, aku memberanikan diri menelpon Arin malam ini.
“Arin?” ucap ku.
“Duma.” jawabnya.
“Aku mau tanya sesuatu ke kamu.” ucap ku dan terdiam sejenak meragu. “Jin itu, dia masih mengikuti ku?”
“Tadi aku menelpon nenek ku, dan meminta ia menrawang ke tempat berada. Nenek aku bilang kamu masih diikuti.” jelas Arin.
Benar saja jawaban yang tidak ingin ku dengar baru saja mampir di telingaku. Aku langsung merinding, lalu aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar.
“Sebenarnya juga, saat kita turun gunung tadi. Aku melihatnya.” ujar ku.
“Kamu? Melihat? Sosoknya?”
“Um.” jawabku meng-iya-kan.
“Seperti apa?”
“Hstt…” aku menarik nafas dari mulut. “Aku tidak lihat jelas, tapi sepertinya matanya berwarna hijau, hidungnya mancung dan dia berponi. Poninya gaul banget. Mirip poni justin bieber. Dia juga pakai kain warna hijau. Dia berjalan di samping ku, melangkah seiring langkahku. Tapi ketika aku menoleh ke samping, aku tidak melihat apa-apa. Hanya Dera di samping ku.” Jelas ku panjang lebar, dengan mendetail sebisa ingatan ku.
“Iya benar. Itu juga sosok yang aku lihat. Tapi… kenapa kamu bisa melihatnya. Mungkin indera keenam mu yang mulai peka karena selalu diikuti olehnya mungkin juga jin itu sendiri yang membuat dirinya Nampak untuk matamu.” jelasnya.
“Ah begitu rupanya. Barusan saat aku mandi, aku juga merasa ada yang memperhatikan ku. Aku gak tau itu perasaan aku saja atau gimana. Makanya aku cepet-cepet udahan mandinya tadi.” ceritaku.
“Ini gak bisa dibiarin. Ma.” ucapnya. “Nenekkku bilang kamu sebaiknya datang saja ke rumah nenek, dia akan membantu mu mengusir jin itu.”
“Hm. Baiklah. Tapi bicara tentang nenek mu, aku jadi ingat kalung ini. Kenapa jin itu masih tetap bisa mengikuti ku padahal aku sudah mengenakan kalung ini ya?”
“Itu juga yang aku bingungkan.” ujar Arin. “Jadi kapan kamu bisa ke rumah nenek ku? aku akan mengantarmu.”
{Bersambung...}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar