Harry Potter - Golden Snitch Kumpulan Cerpen Menarik: Jin Jubah Hijau {Part 1}
Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Rabu, 03 Juni 2015

Jin Jubah Hijau {Part 1}


Genre : Horror

Aku tidak bisa tidur, perut ku lapar. Sekarang jam 2 pagi. Udara di atas pegunungan Everko begitu dingin. Di tenda kecil ini, aku berusaha memejamkan mataku sejak pukul 12 tadi dan sama sekali tidak berhasil. Mungkin memang karena rasa lapar ini. Aku mahasiswi semester 5. Aku sedang berlibur dengan teman-temanku mendaki gunung dalam rangka mengisi liburan semester, melepas penat setelah melewati UAS yang selalu menjadi beban mahasiswa. Jam terus berdenting, perut ku semakin lapar. Bingung harus makan apa di atas gunung tengah malam begini.
Nana, teman kuliah ku yang tidur satu tenda dengan ku, bangkit dari tidur lelapnya. Sangat lelap hingga ia mendengkur. Ia duduk diam dalam gelapnya tenda. Aku yang terbaring dan belum memejamkan mata sedari tadi hanya mengamatinya dengan diam. Lalu Nana membuka retsleting tirai tenda seraya mengarahkan senter ke arah luar.
“Na, ngapain?” tanya ku dengan suara setengah berbisik.
“Hemh?” respon Nana singkat dengan nada seperti orang yang masih setengah tertidur.
“Siapa itu? Nana?” suara pria berteriak dari arah luar.
“Kenapa Na? Tidak bisa tidur?” ujar Dera, salah seorang pria lain lagi dari arah luar. Ternyata teman-teman ku yang pria masih belum tidur dan menyalakan api unggun di luar sambil menikmati kopi hangat.
“Hemh? Tidak.” jawabnya singkat.
“Na, aku lapar.” ucap ku.
“Hemh?” lagi lagi respon singkat Nana. Nampaknya nyawanya belum terkumpul seluruhnya sedari bangun dari tidur tadi.
“Aku mau makan popmie deh. Aku bawa sih.” ucap ku lagi. Jika kali ini Nana hanya merespon dengan kata ‘Hemh?’ aku akan benar-benar menjambak rambutnya, pikirku.
“Ya sudah, makan aja.” ujar Nana. Huh, syukurlah ia ada tanggapan walau hanya tanggapan singkat.
“Tapi aku males masak air panasnya.”
“Itu di luar anak-anak lagi masak air, pada nyeduh kopi.”
“Oh. Ya udah.”
Aku dan Nana pun keluar tenda di tengah udara yang menusuk. Aku menarik jaket ku sehingga erat memeluk tubuhku untuk menghilangkan menggigil yang menyerang ku. Aku dan Nana berjalan menuju api unggun yang di kelilingi empat pria dengan mengarahkan cahaya senter ke mereka.
“Ayo sini ikut ngumpul.” ucap Siel.
“Aku minta air panasnya ya. Mau seduh popmie. Ada yang mau? Aku bawa dua nih?” ucap ku.
“Mau gak kamu tuh, El?” ucap Dera kepada Siel yang duduk tepat di sebelahnya.
“Bilang aja kamu yang mau Ra.” jawab Siel.
“Iya emang aku mau. Aku mau ya, Duma, satu.” ucap Dera sambil tertawa kecil.
Aku pun mulai membuat popmienya. Membuka bungkusnya, menaruh bumbu-bumbunya, juga untuk popmie Dera. Serasa aku istri Dera yang sedang menyiapkan makan untuk suaminya, pikirku. Lalu aku mengambil panci kecil berisi air panas yang di gantung di atas api unggun kecil-kecilan buatan Dera, Siel, Abdul dan Azien. Tapi entah kenapa, aku tersandung dan malah menumpahkan sedikit air panas itu di tanganku.
“Auu” teriak ku. Untung saja aku mengenakan jaket tangan panjang. Tapi air panasnya menyerap masuk ke dalam pori-pori jaket, dan sensasi panas pun pada akhirnya menyengat kulitku juga. Dengan panik, cepat-cepat aku membuka jaket ku.
“Aish gak hati-hati sih” ujar Siel.
Aku hanya mengenakan tanktop karenanya. Tiba-tiba angin dingin berhembus. Bulu kuduk ku berdiri karena dinginnya.
“Nih pake jaket aku aja, Ma.” Siel menawarkan.
Belakangan aku tahu, sesosok pria yang mengenakan kain berwarna hijau tua yang dililitkan sedemikian rupa di tubuhnya, agak mirip seperti memakai kain ihram, sedari tadi ternyata mengamati gerak-gerik ku. Pria itu berdiri di atas ranting pohon pinus yang sangat tinggi yang ada di dekat tempat kami menyalakan api unggun. Entah apa yang membuatnya tak sekali pun melepas pandangan dari ku. Dan saat aku melepaskan jaket ku, dan hanya tinggal mengenakan tanktop hitam, raut matanya berubah, kaget, seakan tebelalak, alisnya sedikt terangkat.
“Dia sangat cantik” ucap pria misterius itu.
“Ah gak usah. Aku pake jaket aku lagi aja, udah gak berasa air panasnya.” jawabku pada Siel.
Selesai makan dan bercengkarama, kami kembali ke tenda masing-masing. Perut sudah kenyang, sekarang aku akan mencoba untuk tidur. Aku melihat jam tangan ku. Menunjukan pukul 3 pagi. Fajar dalam beberapa jam lagi akan segera terbit. Aku ingin melihatnya. Tapi dengan kondisi aku yang belum tidur sama sekali apa mungkin aku bisa.
Mata ku terbuka, udara dingin masih jelas terasa. Aku menengok ke samping dan mendapati Nana sudah tidak di tenda. Sambil mengucek-ucek sebelah mata aku melihat jam tangan ku, pukul 6 pagi. Benar saja, ini sudah terlambat untuk melihat matahari terbit. Aku bangun dari tidur dan duduk. Aku menunduk, rasa lelah dan pegal masih setia di tubuhku. Lalu tiba-tiba perutku terasa mual, aku ingin muntah. Cepat-cepat aku keluar tenda dan … Jackpot!
Lalu aku merasa ada yang mengusap pundak ku dari belakang. Tangannya terasa begitu hangat. Aku menoleh ke belakang, aku pikir itu mungkin Nana atau mungkin Siel. Tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Aku sedikit menarik napas, bingung dibuatnya. Lalu seakan sihir rasa hangat di pungungku semakin hangat dan menjalar ke seluruh tubuh. Rasanya sangat nyaman.
“Duma?!” Ucap Arin yang baru keluar dari tenda, teman kuliahku juga yang tendanya di sebelah tenda ku, ia terlihat sangat kaget.
“Um. Aku muntah.” Jawab ku singkat.
Arin hanya menatapku, diam, kaget. Bukannya menghampiriku memberi minyak angin atau minum gitu, pikirku. Aku berbalik masuk lagi ke tenda untuk mengambil minum. Dan juga aku meminum obat mual untuk jaga-jaga agar tidak muntah lagi. Sepertinya aku masuk angin karena menahan lapar semalam itu. Sampai akhirnya memakan popmie tapi itu pun tidak menyelamatkan perutku. Aku kembali ke luar tenda, dan Arin masih di tempat tadi. Wajahnya terlihat gelisah.
“Aku udah gak apa-apa kok, Rin. Yang lain kemana?” Ucap ku.
“Oh. Disana.” Jawabnya singkat sambil menunjuk ke arah tebing dekat tempat kami berkemah. Tampatnya sangat indah, dari tebing itu kami bisa meliahat jauh hingga ke bawah, melihat hamparan hutan lebat yang seperti karpet hijau lebar dari atas sini.
Aku menghampiri teman-temanku yang sudah ada di pinggir tebing. Sosok pria berkain hijau itu muncul lagi dan mengikuti langkah ku, tepat di belakang ku, hanya berjarak sekitar 30 cm, tanpa ku ketahui. Tapi lalu langkahnya terhenti. Sesosok pria berpakaian yang sama dengannya hanya saja kainnya berwarna putih, memegang tangannya dan menahan langkahnya.
“Ah. Soju.” ucap pria berkain hijau seraya menoleh ke pria berkain putih.
“Sudahlah. Dia manusia.” ujar Soju kepada Riyong, pria berkain hijau.
“Tapi sepertinya aku jatuh cinta.” jawab Riyong.
“Tapi dunia manusia dan dunia kita berbeda. Kita jin. Dimensi kita berbeda.” jelas Soju yang membuat Riyong terdiam. Raut sedih tergambar di wajahnya yang bisa dikatakan tampan. Riyong menoleh ke arah kerumunan remaja yang sedang tertawa bersama di pinggir tebing. Ia memandangi ku.

                                    {Bersambung...}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar