Aku diam sebentar dan
mengatur nafas. Anehnya, Paman dan Arine yang tidur di sebelah ruangan tidak
mendengarku sama sekali. Ayah, ibu atau Kak Dona pun tidak datang
menghampiriku, padahal teriakanku sangat keras.
Saat diam beberapa
detik, tahu-tahu lampu sudah menyala kembali. Aku tersentak kaget. Tapi
anehnya, lampu di ruangan itu sangat pudar dan berwarna kuning. Padahal
sebelumnya lampu berwarna putih terang. Aku masih menghadap ke pintu, berjalan
mundur perlahan-lahan ke belakang. Debu dan sarang laba-laba menghiasi setiap
sudut tembok, membungkus lemari dan peralatan yang ada di sana. Lantai yang
kupijak sangat kotor dan berpasir. Aneh sekali. Aku merasa seperti berada di
masa lampau.
Masih dengan keheranan,
aku berbalik menghadap jendela besar. Tiba-tiba ada sesuatu yang hampir membuat
jantungku lepas. Ada sesuatu yang membuat urat nadiku hampir putus, membuat
kakiku bergetar hebat karenanya. Mulutku menganga lebar, mataku terbelalak. Aku
seperti disambar petir.
Ya. Di sana, di jendela
itu, sebuah sosok anak perempuan seumuranku tergantung melayang dengan tali
tambang melilit di lehernya. Dia menghadap ke arahku. Gadis itu memakai baju
daster hingga ke lututnya. Seluruh tubuhnya berwarna putih pucat, rambut
hitamnya yang panjang sebahu tergerai menutupi sebagian wajahnya. Tetapi dapat
kulihat dengan jelas matanya melotot lebar seolah-olah akan keluar.
Mulutnya terbuka
sedikit, dan darah mengalir lembut melalui hidung dan mulutnya. Kakinya yang
bergelantungan dan bergerak sedikit ketika ada angin kencang menerpa.
Aku menjerit kencang
sekali. Ini bukan rumahku. Ini bukan ruangan itu.
Kubawa kaki ini berlari
menghampiri pintu dan memaksa tanganku membuka pintu itu. Tetapi pintu tetap
terkunci. Aku panik. Sangat panik.
“AYAH! IBU! TOLONG
AKU!!”
“Tolong aku … “
Di sudut ruangan itu,
Lyssa merapatkan kedua lututnya, menunduk, dan menangis lagi. Sudah lebih dari
seminggu ia disekap di dalam kamar kosong tanpa ada yang menemani seorang pun.
Hanya dua buah obor yang terpajang di dinding, menyinari sedikit ruangan itu.
Cahaya bulan merembes masuk melalui jendela besar di belakangnya.
Sudah banyak korban
berjatuhan. Dan yang mengalami pasti selalu anak perempuan. Dan kini, Lyssa pun
ikut terpilih. Semula ia tak terlalu mengerti hal itu, namun ketika ada
sekelompok pria tak dikenal menawarkan permen dan boneka, Lyssa terbujuk dan
menuruti perintah pria-pria itu. Lyssa dibawa ke suatu tempat yang jauh sekali
dari rumahnya. Ia disuruh masuk ke dalam sel yang penuh dengan jeruji mirip
seperti penjara. Di sana, banyak sekali anak-anak perempuan seumurannya yang
sedang duduk membungkuk. Wajah mereka sangat memelas, seolah tidak ada harapan
yang akan menyelamatkan mereka dari kengerian itu. Mereka semua sangat kurus
dan cekung.
Dan inilah awal
malapetaka yang dialami Lyssa. Gadis cantik itu harus menerima siksaan yang
amat sangat menyakitkan. Ia tidak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya
padahal di kejauhan sana, orang tua Lyssa sangat panik mengetahui anaknya
hilang. Sirine mobil polisi terdengar di mana-mana. Sementara surat kabar tak
henti-hentinya menampangkan berita itu; “Penculikan Anak Terus Berlanjut”.
Satu per satu anak di
dalam ruangan itu dipanggil dan dijual ke luar negeri. Lyssa tidak tahu tentang
itu. Yang ia tahu, pasti anak yang dipanggil akan dibawa pergi ke tempat yang
sangat jauh, dan di sana akan dijadikan budak dan disiksa terus menerus.
Dan sekarang tepatnya
tanggal 29 Februari, tinggal Lyssa yang terakhir berada di sel itu. Keheningan
malam sangat mencekam dan menyiksa dirinya. Baju daster se-lutut sudah
dipakainya selama seminggu. Ia juga menggigil kedinginan. Angin kencang terus
menerpa hingga tulang-tulang kurusnya.
Sebelumnya, Lyssa dan
beberapa anak lainnya sudah berusaha untuk kabur. Mereka dengan susah payah
membuka jendela besar yang digembok dan dirantai. Tetapi suatu kali mereka
berhasil. Mereka bisa membuka jendela itu, namun ketika melihat ke bawah, hanya
sungai kotor dan hutan yang tampak. Belum lagi ketinggiannya mencapai beberapa
meter, dan anak-anak itu terlalu takut untuk meloncat ke bawah. Pada saat itu
juga, angin di luar berhembus kencang hingga membanting jendela besar itu.
Suaranya sangat keras seperti gempa. Salah satu pria yang ada di bawah langsung
berlari menaiki tangga dan memarahi anak-anak itu.
Tiba-tiba Lyssa
berpikir, apa yang harus ia lakukan agar ia tidak seperti anak-anak lainnya.
Bagaimana cara agar ia dapat menghindar dari semua itu. Ia sangat marah. Marah
pada dirinya. Seharusnya, anak berumur 10 tahun sudah bisa menjaga diri
sendiri. Ia menyesal kenapa tidak memikirkan baik-baik nasihat orang tuanya.
Dan juga anak-anak lainnya. Mereka semua sangat bodoh dan tolol.
Malam itu, Lyssa
mengamuk-ngamuk sendiri. Ia menangis, menendang-nendang tembok, meloncat-loncat,
mendumel sendiri, dan berteriak-teriak seperti orang gila. Tiba-tiba ia melihat
sejumput tali tambang di sudut ruangan. Tangisnya mendadak berhenti. Ia
berpikir, ia pasti bisa melakukan sesuatu dengan tali itu. Pasti. Lyssa
tersenyum, dan tertawa terbahak-bahak. Ia terus tertawa sambil berjalan
mengambil tali itu. Kemudian ia perhatikan paku yang sudah berkarat yang
terpajang di atas jendela besar. Tawa Lyssa meledak lagi.
Gadis malang itu
mengambil kursi kayu dan menyimpannya di dekat jendela. Setelah menaikinya, ia
mengikat tali tambang pada paku dengan sangat erat. Lalu di ujung lainnya, ia
membuat simpul tali melingkar seperti sebuah lingkaran. Kemudian ia berbalik
dan memasukkan tali itu ke lehernya. Ia pun membiarkan dirinya bergelantungan
di jendela itu, membiarkan nyawanya lepas dari tubuh mungilnya.
Kejadian itu lalu terus
terjadi setiap 4 tahun sekali di bulan Februari. Dan bangunan tempat penjualan
anak itu pun sudah dibersihkan dan dijadikan sebuah rumah megah. Tetapi jendela
besar tetap terpasang rapi di dinding, tanpa meninggalkan sedikitpun sisa-sisa
luka seorang anak.
Dan setiap ada anak
perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia
akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.
Aku tersentak kaget.
Nafasku tersengal-sengal, peluh berkucuran di keningku. Kulihat sekelilingku.
Aku masih duduk di atas matras, dengan selimut tipis dan bantal keras. Lampu di
ruangan itu masih berwarna putih terang, dan sama sekali tak ada debu atau
sarang laba-laba di sana. Lantainya juga bersih tidak berpasir. Aku bernapas
lega. Apakah ini semua hanya mimpi? Yang kuingat, terakhir kali aku
memukul-mukul pintu dan memanggil ayah dan ibuku.
Kugali lagi isi
pikiranku. Di dalam mimpiku, aku melihat penderitaan Lyssa. Aku melihat
bagaimana sosok gadis itu.
Dan aku mengerti.
Suara anak yang meminta
tolong kemarin malam pasti adalah suara Lyssa saat ia disekap di sel. Suara
jendela dibanting keras itu tak lain adalah ketika Lyssa mencoba kabur dan membuka
jendela, tiba-tiba angin kencang datang membantingnya. Lalu suara tapak kaki
orang itu pasti adalah suara langkah pria yang berlari menghampiri sel. Dan sel
itu sedang kutempati sekarang. Kejadian itu terus berulang dan menimpa anak
perempuan. Syukurlah. Aku bukan anak perempuan.
“Tapi … Tunggu.”
Setiap ada anak
perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia
akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.
“Anak perempuan.
10 tahun.
Jangan-jangan …”
Dan saat aku berpaling
ke belakang, di jendela itu sudah tergantung sesosok anak perempuan yang sangat
kukenali.
“ARINE!!!”
{Selesai}




