Harry Potter - Golden Snitch Kumpulan Cerpen Menarik
Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Sabtu, 28 Mei 2016

"Two Face" part 1




Dipenghujung malam itu aku duduk sendirian di teras rumah ku sambil memandang indahnya rembulan malam yang memancarkan sinarnya.Ku memandang bintang di langit sambil membayangkan bisakah aku memetik nya?.Tak lama kemudian langit pun mulai mendung dan akhirnya hujan pun turun dengan deras nya.Hal itu membuatku harus terpaksa mengakhiri pandangan ku ke langit. Bintang dan bulan pun kini mulai tertutup oleh awan hitam. Kemudian aku segera masuk ke kamar karna di luar sedang hujan deras.Sebelumnya,perkenalkan namaku Cindy.Aku adalah seorang murid kelas 2 di sebuah SMA negeri di Jakarta.

Tuhan tak pernah berjanji bahwa langit akan biru,Tuhan juga tak pernah berjanji bahwa bulan akan selalu bulat,Tapi Tuhan berjanji bahwa disaat kita mendapatkan cobaan dan berusaha menjalani nya dengan sabar pasti Tuhan akan memberikan kita sebuah kebahagiaan.Seperti hal nya pelangi, ia akan datang setelah hujan turun.Mengapa demikian?karena kita tak akan bisa merasakan kebahagiaan sebelum kita mendapatkan cobaan.

Aku tau bahwa semua yang ada di dunia ini milik Tuhan,termasuk juga orang yang aku suka.Ya,orang yang aku suka itu bernama Nicholas.Ia adalah kakak kelas di sekolah ku.Entah mengapa aku bisa suka padanya.Namun yang aku tau dia memang tampan dan baik banget.Aku setiap hari di sekolah selalu pergi bersama ke kantin berdua.Namun hari ini tak seperti biasanya,ia kini tak kelihatan batang hidung nya.Kemana pergi nya ia?.Aku pun bertanya kepada salah satu teman sekelasnya Nicholas.

“Eh liat si Nicholas gak?”.Tanyaku.
“Gak tau,dia hari ini gak masuk sekolah”.Ucap salah satu teman nya Nicholas.
“Kenapa dia tak masuk sekolah?”.Tanyaku kembali.
“Aku juga tak tau”.
“Oh yaudah makasih”.

Kemudian aku langsung bergegas ke kantin sendirian untuk membeli makanan.Disaat aku sedang berjalan menuju kantin,aku bertemu dengan seorang cowok berpenampilan sangat culun.Cowok itu menarik tangan ku dan dengan sekejap aku melepaskan genggaman cowok itu.Lalu cowok itu mengajak ku berkenalan.Cowok itu berperilaku sangat aneh seperti menggigit kuku & menggaruk-garuk rambut.Sungguh cowok itu sangat aneh dan culun.

“Hai kenalkan namaku Joko.Aku murid baru disini”.Ucap cowok itu sambil menjulurkan tangan nya.
“Ya hai juga namaku Cindy”.Jawabku singkat.
Dalam hatiku berkata “Pantesan aja orang nya culun banget,namanya aja kampungan”.
“Cindy,kamu mau makan bareng aku gak?”.Ajak cowok itu kepada ku.
“Gak mau ah aku udah kenyang.Lain kali aja ya”.
“Oh yaudah deh tapi lain kali harus mau ya”.

Aku pun tak menjawab ucapan cowok aneh itu.Aku langsung bergegas lari masuk ke dalam kelas.Ketika aku sedang berada di kelas,tiba-tiba cowok aneh itu kembali menghampiri ku.Kali ini dia membawa sepucuk kertas merah dan setangkai bunga mawar yang menempel di boneka beruang berukuran sedang.Entah apa maksud cowok aneh itu menghampiri ku kembali.Dari depan pintu ia berteriak memanggil namaku.Namun aku tak menanggapinya sama sekali.Tak lama kemudian akhirnya cowok aneh itu masuk ke dalam kelas ku dan menghampiri ku yang sedang duduk di bangku sambil main hp.

“Hai Cindy,ini aku bawain boneka dan setangkai bunga mawar untuk mu”. Ucap cowok aneh itu kepada ku.
“Ngapain lagi sih nemuin aku?”.Jawabku dengan nada sedikit agak keras.
“Maaf kalau kamu gak suka dengan kedatangan aku.Aku kesini cuma mau memberikan ini”.Kata cowok itu sambil menunjukan barang-barang yang ia bawa berupa boneka,setangkai bunga mawar,dan sepucuk surat merah.
“Baiklah aku terima barang pemberian kamu ini”.Ujarku.
“Makasih ya kamu udah mau nerima barang pemberian aku.Oh ya,jangan lupa juga baca sepucuk surat merah dari ku ini ya”.
“Iya nanti sepulang sekolah aku akan baca surat nya”.
“Yaudah aku balik dulu ke kelas ya,bye Cindy”.

Setelah Joko pergi meninggalkan ku,jauh di lubuk hatiku penasaran ingin membaca sepucuk surat merah itu.Tapi aku takut teman-temanku ikutan membacanya.Sebaiknya aku membaca surat ini di rumah saja,ucapku dalam hati.
Sepulang sekolah,biasanya aku selalu pulang bersama dengan Nicholas. Namun karna hari ini ia tidak masuk sekolah,akhirnya aku pun pulang sendirian.Aku berjalan menelusuri jalan yang sepi dan jarang ada orang yang melewati jalan ini.Ya,rumahku memang berada di kawasan komplek perumahan.Sesampainya di rumah,Aku melihat ada seseorang sedang berdiri di depan rumahku.Entah siapa orang yang sedang berdiri itu. Pakaian nya lusuh,dekil,dan compang-camping.Kalau dilihat dari cara berpakaian nya ia terlihat seperti seorang pengemis.Aku pun bergegas menghampirinya.

                                 “Bersambung...”

Kamis, 26 Mei 2016

"The Secret Love" Part 2


                                

Sesampainya di taman, aku langsung menempati bangku Taman yang telah disediakan oleh Taman Kota. Tanpa ku sadari tiba-tiba ada seseorang yang memegang bahu kiriku dari arah belakang. Aku tersontak kaget dan langsung berdiri dan menghadap belakang. Ku pandang mata jernih orang yang memegang pundakku tadi. ‘Oh no, laki-laki itu.’ Bisik batinku. Laki-laki itu pun tersenyum manis ke arahku. Sedangkan aku terpaku dalam keringat dingin yang tiba-tiba ke luar dari pelipisku.

“Mellani, kan?” Sapanya terlebih dahulu dan mengulurkan tangannya. Ku pandang dengan heran tingkahnya yang satu itu.
“Ternyata dia kenal sama aku.” Bisik batinku lagi.
“Maaf, Mellani, kan?” Ulangnya lagi. Aku mengangguk kecil sambil membalas uluran tangan laki-laki itu.
“Aku Deni.” Ucapnya ragu-ragu tapi pasti. Aku yang mendengar tiba-tiba terperangkap bingung.
“Deni?” Ulangku tak yakin.
“Iya. Aku Deni, teman SD-mu.”

“Kenapa selama kamu jadi tetanggaku, kamu tak pernah bilang kalau kamu itu Deni?” Tanyaku cukup kecewa.
“Aku malu. Takut tiba-tiba kamu tak kenal denganku.” Ucapnya pasrah.
“Asalkan kamu tahu, aku tak pernah melupakanmu. Karena kamu adalah sahabatku di saat SD dan…” Ucapanku terputus.
“Dan apa?” Ulangnya.
“Ya, kamu sahabatku.” Aku pun kembali terduduk. Perasaanku saat ini bahagia dan sedikit kecewa karena aku baru tahu sekarang karena laki-laki yang sering ku lihat itu adalah Deni, sahabat SD-ku dan orang yang selama ini ku tunggu-tunggu.

“Dan asal kamu tahu, aku adalah orang misteriusmu.” Ucapnya cukup pelan, tetapi aku cukup mendengarnya dengan jelas.
“Apa?” Aku mendongkakkan kepala ku ke atas dan melihat mukanya yang cukup pucat pasi karena takut. mungkin. “Jadi yang sering mengirim benda-benda aneh itu kamu?” Tanyaku heran.
“Iya.” Jawabnya pucat.
‘Ya, Tuhan kenapa aku tak menyadarinya?’ Ucap batinku sedih. Aku pun terdiam. Deni merasakan kebisuanku dan duduk di sampingku.

“Kamu marah?” Tanya laki-laki itu pelan. Aku tak menjawab secara langsung.
“Aku tak marah. Aku cukup bahagia, bahkan aku senang. Tetapi aku sedih karena aku baru menyadarinya.” Ucap hati kecilku.
“Tidak. Aku tak marah.” jawabku pasti. Ku berikan senyuman manisku untuk laki-laki yang berada di sampingku kali ini.
“Yakin?” Tanyanya kurang percaya.
“Iya. Yakin!” jawabku mantap.

“Maaf jika kamu terganggu dengan kiriman dariku, itu hanya sebagian kecil dariku untuk mengungkapkan perasaanku.” Ucapnya begitu mantap dan jujur. Aku terpaku oleh ucapannya. Aku benar-benar tak bisa menjawab. “Sekali lagi maaf, Mellani.” Sambungnya.
“Hah? Iya, Den.” jawabku singkat.
“Dan…” Ucapnya terputus.
“Dan apa?” Tanyaku bingung.
“Mau kamu jadi kekasihku?” Ucapnya pelan dan malu-malu.
“Apa?” Tanyaku heran.
“Maaf, kalau aku lancang.” Ucapnya was-was.

Aku bingung ingin menjawab apa. Ucapannya cukup membuatku bimbang. Ku paksakan saja kepalaku mengangguk pelan.
“Ya aku mau.” jawabku malu.
“Hah?” Deni tak percaya. Aku hanya tersenyum. “Akhirnya.” Seru laki-laki itu. Aku hanya malu-malu di hadapannya sambil senyum-senyum aneh.

                                    “Tamat!!!”

Jumat, 18 Maret 2016

"The Secret Love" Part 1

                                     


Aku tersenyum melihat laki-laki yang baru saja pulang dari sekolahnya, yang kini sedang memasuki lorong teras rumahnya. Rumah laki-laki itu berada di seberang rumahku. Aku masih asyik memandangi punggung laki-laki tampan itu dari depan pintu rumahku, tak ku sangka sebelumnya, dia pun berbalik dan memberikan senyuman manisnya kepadaku. Suhu kaku pun menghampiri badanku. Aku yang tiba-tiba kikuk langsung berlari masuk ke dalam rumah.
“Oh, senyuman yang indah.” Gumamku di dalam kamar.

Aku langsung membaringkan tubuhku di pulau kapuk kesayanganku. Dari kejauhan ku tatap selembar foto laki-laki kecil yang menggunakan seragam Sekolah Dasar yang telah terpampang di meja belajar yang berada di depan kaca jendela kamar. Foto itu telah dihias rapi dengan bingkai hitam yang cukup manis dilihat oleh mata.
“Oh, Deni.” Anganku pun melayang. ‘Derrrr, derrrrr.’ Alunan getaran itu menyadarkanku, bahwa aku sedang melamun. Ku sentuh touchscreen handphone-ku dan ku baca message dari nomor yang tak ku kenal.
“Nomor misterius ini menyuruhku untuk ke depan pintu rumah? Untuk apa lagi sih?” ucapku sewot. Dengan penasaran aku pun mengikuti perintah dari pesan itu.

Kali ini di depan rumahku terdapat sepucuk surat berwarna pink yang unyu-unyu tergeletak di lantai teras rumahku.
“Surat? Lagi-lagi surat misterius.” Gumamku santai. Ku bawa surat itu masuk ke dalam rumah. Ini adalah kali keempat kalinya aku mendapatkan hadiah yang misterius. Ku tak membaca surat itu. Aku hanya meletakkan sepucuk surat itu di samping hadih-hadiah misterius yang lainnya.

“Wishh, kayaknya ada hadiah baru nih, Mell.” Celetuk Kak Putri yang melihat benda baru di atas meja belajarku, ‘Surat pink’ yang tadi sempat ku temui di depan teras rumah.
“Kira-kira menurutmu siapa nih yang ngirim hadiah-hadiah misterius ini?” Goda Kak Putri.
“entahlah Kak, mungkin sang penggemar rahasiaku yang tak berani bertemu denganku. Hehe.” ucapku bangga.
“Hahaha, maybe yes, Dek.” Tangan Kak Putri melayang di Surat Pink itu. “Kak baca ya?” Pintanya. Aku hanya mengangguk sedikit.

Kami hanya tinggal berdua di dalam rumah yang cukup megah ini. Orangtua kami sudah tak ada. Gara-gara kecelakaan 2 tahun silam itu, kedua orangtuaku tak akan bisa balik lagi di dalam keluarga kecil kami. Sungguh sedihnya saat aku tahu kedua orangtuaku meninggalkanku dan Kak Putri untuk selama-lamanya. Di saat itu aku baru duduk di Sekolah Menengah Atas, dan Kak Putri sudah Kuliah sambil melanjutkan pekerjaan Papa di kantor.

“Mell, menurut Kakak yah, yang mengirim hadiah ini si Bagas anak Pak Satpam Kompleks kita, deh.” Ucap Kak Putri yang mulai sok tahu.
“Maybe.” jawabku cuek.
Kak Putri pun ke luar kamarku dan meninggalkanku sendirian di kamar. Kemungkinan Kak Putri ingin beristirahat di kamarnya.
“Seandainya yang ngirim hadiah ini adalah Deni.” Harapku.
Malam semakin larut, aku pun terlelap dalam tidurku.

Aku terpaku saat melihat benda yang tergeletak manis di teras rumahku. Kali ini adalah boneka beruang yang kecil dan sepucuk surat berwarna hijau. Aku penasaran dengan isi surat itu, kali ini sengaja ku baca isi surat aneh itu.
“Sudah ku duga! Isinya hanya gombalan kacangan dari orang yang tak mempunyai nama.” ucapku cuek.
Ku dongkakkan kepalaku ke hadapan pintu rumah laki-laki yang ku kagumi. Sampai detik ini aku masih tak tahu siapa nama laki-laki tersebut. Dia terlalu pendiam. Orang yang ku tunggu pun ke luar dari kediamannya. Dia pun mengeluarkan sepeda motornya dari dalam bagasi rumah, dan melaju dengan kecepatan sedang ke arah jalanan sekolahnya berada.

“Oh god! Mellani, jadi sekolah gak?” Protes Kak Putri mengagetkanku.
“Oh iya!” ucapku baru tersadar. Aku langsung meluncur lari ke kamarku yang berada di lantai 2 untuk sedikit berdandan, memakai sepatu, dan mengambil tas boneka yang biasa ku pakai untuk sekolah. Kak Putri ternyata telah stay di dalam mobil, menjadi supir pribadiku. Tanpa basa-basi Kak Putri langsung berangkat ke sekolahku.

Hari semakin panas. Aku telah bersantai di balkon depan kamarku sambil ditemani oleh segelas Jus Jeruk yang manis. Di rumah hanya ada aku sendiri. Siang seperti ini Kak Putri belum pulang dari kantor, kemungkinan Kak Putri akan pulang nanti sore. Bel rumah tiba-tiba berbunyi. Menandakan ada seorang tamu yang sedang menunggu pintu rumahku dibuka. Aku bergegas ingin membuka kan pintu untuk seorang tamu. Pintu telah ku buka, tetapi tamu yang ku nanti tak ada. Kali ini aku masih tertipu lagi oleh seorang yang misterius, kini aku mendapatkan bunga mawar dan kertas putih kecil. Ku ambil kedua benda itu dan ku bawa masuk. Ku baca kertas putih kecil itu, hanya ada sebuah kalimat, “04.00 Sore.”
“Dasar kertas yang aneh!” Celetukku sedikit kesal. Karena tak ingin dibawa pusing, aku pun merebahkan badanku dan terlelap untuk siang ini di atas kasur yang lumayan empuk.

Masih dalam keadaan sendirian di rumah dan mata masih berkunang-kunang karena baru saja aku bangun dari mimpi di siang hari. Aku pun beralih ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Lumayan lama menempuh waktu mandi dan berdandan ria sedikit. Telah siap, aku pun bergegas pergi ke Taman untuk menghilangkan kesuntukkan di rumah. Tidak begitu jauh Taman yang ingin ku jumpai sekarang ini.

{Bersambung...}




Selasa, 15 Maret 2016

"Dimana Penyemangat Ku Tuhan?" {Part 2}


                                

“Kau ini tuli atau bagaimana sih?! Aku menanyakan harga Koran ini berapa?!” Kata seorang pria paruh baya kepada Ricky. Ricky masih terdiam dan suara terbata-bata mencoba berbicara pada pria itu. Tapi pria itu langsung pergi tidak menghiraukan Ricky yang sedang mencoba menulis di buku, untuk menjelaskan kepada pria itu. Ketika Ricky hendak menunjukkan tulisan itu kepada pria paruh baya tadi, seorang gadis telah berdiri di hadapannya dan tersenyum manis pada Ricky. “Hai, Kita bertemu lagi.” Kata gadis itu sambil tersenyum. Senyumannya membuat Ricky terpaku. Ia tidak bisa berkata apa-apa ketika gadis yang ia sukai berada tepat di hadapannya lagi. Ricky hanya bisa membalas senyuman gadis itu.

“Aku ingin membeli koranmu lagi, oh iya namaku Rika, siapa namamu?” Ricky menuliskan namanya di buku dan memperlihatkannya pada Rika.
“Namamu Ricky ya? Wah nama kita hampir sama ya?” Kata Rika sambil tertawa. Tawanya yang ceria membuat Ricky kembali tersenyum.
“Bisakah kita berteman?” Tanyanya pada Ricky. Ricky hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan senang. Akhirnya ada seseorang yang dengan tulus mau berteman dengannya. Walaupun kekurangan yang ia miliki Rika dengan senang hati bisa menerima Ricky apa adanya.

Mentari berada tepat di atasnya ketika ia berdiri tepat di depan gerbang sebuah sekolah, sesekali ia melihat ke dalam untuk memastikan bila seseorang yang ia tunggu datang menghampirinya. Tangan kirinya terlihat merangkul beberapa koran, topi yang ia pakai menambah kesan kalau ia ada seorang pedagang koran yang hendak berjualan di sekolah itu. Padahal ia sedang menunggu seseorang yang sangat spesial di hidupnya. “Kau sudah lama menungguku?” Tanya Rika pada Ricky yang sedari tadi telah menunggunya. Ricky hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

Hari ini Rika berjanji untuk membantu Ricky menjual koran-korannya. Hal inilah yang ingin sekali Rika lakukan selama hidupnya, membantu seseorang yang memiliki kekurangan seperti Ricky. Apalagi ia telah mampu merubah dirinya yang dulunya sangat cuek dengan lingkungan sekitar menjadi seseorang yang lebih peduli, apalagi Ricky adalah seseorang yang baik dan bekerja keras dengan kemampuan yang ia miliki. Tepat ketika lampu lalu lintas menunjukkan warna merah Rika dan Ricky mulai menjajakkan koran mereka. Walaupun hari itu matahari bersinar sangat teriknya, tetapi mereka dengan semangat berjualan koran. Tidak peduli bagaimana orang-orang akan membeli atau tidak koran yang mereka jual. Setidaknya Rika tahu, seperti ini sulitnya ketika mencari uang.
Cahaya jingga yang telah datang di langit biru dan mentari yang siap untuk kembali singgasana, sepasang insan yang tampak lelah duduk di bangku taman yang tidak jauh dari keramaian pusat kota. Rika telah berhasil membantu Ricky menjual korannya. Koran mereka telah berhasil terjual habis. “Rasanya aku iri padamu bisa hidup seperti ini dan tidak ada yang melarangmu. Terkadang aku sangat lelah hidup tanpa ibu, dan Ayah jarang sekali pulang ke rumah. Beliau hanya sibuk dengan pekerjaannya. Aku sangat merindukan Ibuku.” Kata Rika.

Suaranya hampir menangis saat mengatakan itu. Tapi, jauh di dalam hati Ricky ia sangat ingin menjadi seperti Rika. Yang kapan saja bisa tidur di kasur yang empuk, bisa bersekolah dan bermain bersama teman-temannya. Ricky sangat ingin seperti dia, yang kapan saja bisa berbicara dan dengan mudahnya bisa memprotes seseorang bila orang itu salah. Tidak bagi Ricky. Kekurangannya selalu dipandang sebelah mata terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Kesalahan yang bukan disebabkan olehnya, selalu dialamatkan padanya. Cacian, makian sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Ricky. Ia hanya bisa menangis dalam diam, marah dalam diam dan tertawa dalam diam. Baginya hidupnya adalah kesunyian yang akan terus menyelimutinya sampai kapan pun.

Ricky menyentuh lembut bibir Rika dan mencoba membentuk garis lengkung di bibirnya. Ia menyuruh Rika untuk tersenyum, karena baginya senyumannya bisa membuat dunia ini bersinar kembali. Rika dengan riangnya membalas senyuman Ricky tersebut. Dalam hati Ricky, ia berharap waktu berhenti saat ini. Menikmati setiap senyumnya membuat dunianya kembali utuh. Sesuatu yang selama ini hilang, telah ia temukan kembali dalam Rika. Rika adalah permata yang telah hilang dalam dirinya. Dan kini ia telah menemukannya kembali.

“Di sini rupanya Kau!” Kata seorang laki-laki yang tiba-tiba datang menarik tangan Rika. Nyaris terjatuh Rika berusaha menarik tangannya dari laki-laki itu.
“Kita sudah tidak ada hubangan lagi, buat apa kau mencariku? Dan berhentilah menarikku secara kasar seperti tadi!” Bentak Rika dengan marah.
“Ayahmu, menyuruhku membawamu pulang. Ia sangat khawatir denganmu dan tidak ada gunanya kau berteman dengan seseorang yang bisu seperti dia.”
“Ayah mengkhawatirkanku? Sejak kapan?! Bahkan ia tidak pernah bertanya siapa saja temanku, hanya kau adalah anak dari teman dari Ayahku, kau memperlakukanku sesuka hatimu seperti ini?!”
“Pokoknya kau harus ikut denganku!” Kata laki-laki itu dengan menarik paksa lengan Rika. Tangannya kemudian terlepas dari laki-laki itu. Dengan tidak mempedulikan keadaan di sekitarnya, Rika berlari menjauhinya. Ke mana pun ia tidak peduli, ia harus pergi jauh dari tempat ini. dia harus terus berlari ke mana pun ia akan berlari. Sampai akhirnya ia tidak mendengar sebuah klakson mobil yang berusaha menghentikannya. Tapi, semua terlambat Rika sudah jatuh tersungkur dengan darah mengalir dari tubuhnya.





Ricky yang dari tadi mengejar Rika melihat apa yang terjadi padanya. Tanpa berpikir panjang ia menghampirinya dan berusaha untuk membangunkannya. Tapi, suaranya tidak ke luar hanya air mata yang sekarang ke luar dari kedua matanya. Ricky menggendong Rika dan kembali berlari mencari Rumah Sakit terdekat. Sesampainya di sana dengan susah payah ia berusaha membujuk dokter untuk menyelamatkan Rika. “Ini tidak boleh terjadi lagi.” pikirnya. Kejadian yang hampir sama, ia tidak ingin kehilangan orang yang ia cintai untuk kedua kalinya. Kali ini ia akan melakukan apa pun untuk membuat Rika sadar dan tersenyum kembali. “Dia membutuhkan donor darah yang sama dengannya. Pasien ini telah banyak sekali kehilangan darahnya.” Kata dokter kepada Ricky.

Ricky menuliskan sesuatu dalam buku yang biasa ia bawa dan memperlihatkan kepada dokter itu. Dokter tampak terkejut, tapi ia kemudian mengangguk mengerti. Dan Ricky mulai tersenyum. Cahaya itu perlahan mendekat dan mulai menyilaukan penglihatannya, sedikit buram tapi Rika bisa melihat jelas Ricky berbaring di sampingnya dengan wajah tersenyum. Kepalanya sedikit sakit ketika ia berusaha bangun dari tempat tidur Rumah Sakit. Ada sebuah cacatan kecil yang berada tepat di samping Ricky. Rika mengambilnya dan mulai membaca.

“Dokter ambil saja semua darahku, aku ingin ia selamat aku ingin ia tersenyum kembali dan kembali ceria seperti dulu. Aku tidak peduli jika nyawaku harus hilang karenanya, tapi biarkan dia hidup dan ambil semua darahku untuknya.” Ia mulai menangis saat membaca isi surat dan mengelus pipi Ricky yang kini terasa sangat dingin.

{Tamat !}

"Dimana Penyemangat Ku Tuhan?" {Part 1}





“Laksana mentari yang menyinari bumi ini, cahayanya yang mampu memberikan semangat kehidupanku. Matanya yang selalu membuatku tak sanggup untuk melihat lebih dalam lagi dan senyumannya membuatku terpaku saat aku berdiri di hadapannya, seorang bidadari manis yang membuat hidupku berwarna lagi.” Pikirannya tidak henti-hentinya berkecamuk saat melihat seorang gadis yang sebaya dengannya. Dengan seragam putih abu-abunya dan tas punggung yang selalu ia bawa membuat Ricky menaruh hati padanya.

Ya, mulai saat itu perasaannya menjadi tak karuan. Dia selalu merasakan berjuta-juta kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya. Dia sendiri tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi padanya. Semenjak gadis itu selalu berpapasan dengannya, ia akan berubah bagaikan es yang telah dibekukan. Tidak bisa bergerak hanya matanya yang tak hentinya melihat ke arah gadis itu. Keceriaannya, selalu membuat kesejukan di antara teman-temannya. Wajahnya yang sangat manis membuat Ricky tidak bosannya untuk melihat gadis itu. Pekerjaan yang selama ini membuat ia lelah, mendadak menjadi semangat saat mengerjakannya. Semua demi menemui gadis itu, seorang gadis yang mampu membuat hidupnya kembali seperti dulu.

“Kau sudah membersihkan ini kan?” Kata seorang wanita paruh baya kepadanya. Wanita itu adalah pemilik tempat cuci motor tempatnya bekerja. Ia mengangguk kepada wanita itu.
“Bagus, setelah ini kau bisa pulang ini upahmu.” Ricky menundukkan kepalanya tanda kalau ia mengucapkan terima kasih kepada wanita itu.
“Ini bukan waktunya untuk bersantai.” Pikirnya.

Ia kembali ke pekerjaan selanjutnya. Hanya dengan cara ini dia bertahan hidup. Kecelakaan yang ia alami setahun yang lalu telah merenggut kehidupannya. Merenggut mimpinya dan mengambil cintanya. Semua yang ia miliki sudah tidak ada di dunia ini, yang tersisa hanya ia seorang dan tubuhnya ini. Andai saja ia waktu itu mati bersamanya, mungkin Ricky akan terhindar dari penderitaan ini. Tidak seperti sekarang hanya terbalut dengan ribuan cacian, makian. dan penderitaan.

Matahari masih berada di atas kepalanya, tangan kanannya membawa beberapa tumpukan Koran. Ini waktunya Untuk dia berjualan Koran dan mengumpulkan uang lagi. Dengan segala keterbasan yang ia miliki, ia berjualan Koran itu. Terkadang orang-orang dengan senang hati untuk membeli Koran darinya. Dan ada pula dengan cueknya meninggalkan Ricky begitu saja. Hingga akhirnya ia terdiam terpaku, saat melihat gadis itu. Seorang gadis yang mampu membuatnya tersenyum. Ya, walaupun itu hanya senyuman sekilas yang tidak diketahui olehnya.

“Berapa Koran ini?” Gadis itu bertanya padanya. Ricky terdiam, entah karena ia merasa terpaku karena kecantikan gadis itu, atau ia memang tidak bisa mengeluarkan kata-kata kepada gadis yang ia sukai. Tidak, Ricky mengeluarkan sebuah buku kecil yang ada di dalam sakunya. Dan mulai menulis. Gadis itu heran saat melihat tingkah laku Ricky.
“Apakah ia tidak bisa bicara.” Pikir gadis itu. Gadis itu langsung saja memberikan uang lima ribu rupiah, harga yang sesuai ia tulis pada kertas itu dan gadis itu tersenyum pada Ricky. Seakan dunia berubah menjadi berwarna saat senyuman itu untuknya. Matanya menunjukkan sebuah ketulusan. Seorang gadis yang memiliki hati yang baik. Dengan sejuta kelembutan yang ada di dalam dirinya. Langit sudah mulai gelap saat Ricky berhasil menjual semua Koran. Ricky berjalan menelurusi kota yang semakin ramai dengan gemerlap lampu-lampu jalan. Hingga akhirnya ia tiba di sebuah gubuk kecil. Di tempat itulah ia tinggal. Menghabiskan waktunya dalam kesendirian.

Gubuk ini senantiasa menemaninya. Ibarat saksi dari hidupnya, kegetiran hidup menjadi kunci bagi gubuk yang sekarang ia tinggali. Di balik itu semua Ricky bisa merasakan kalau dirinya bisa kembali seperti dulu lagi, asalkan ia memiliki seorang teman yang bisa menerima keadaan dirinya sekarang ini. Menerima semua kekurangan yang ia miliki, dan dengan tulus ia berteman dengannya. Tidak perlu banyak, cukup satu orang saja yang nantinya bisa memahami dirinya. Kesendirian yang selama ini ia alami membuat ia mengerti kalau hidup ini tidaklah mudah. Terkadang kita harus mendaki, dan terkadang kita harus jatuh ke lembah yang paling dalam. Tapi, ia selalu percaya akan ada matahari setelah badai, dan akan ada pelangi setelah hujan. Jadi hidup ini harus ia jalani sesulit apa pun itu, ia harus bergerak maju. Sekali pun ia harus merangkak Ricky harus tetap terus maju. Demi harapannya dan demi impiannya.

{Bersambung...}

Sabtu, 03 Oktober 2015

Kamar Sebelah {Part 2}



Aku diam sebentar dan mengatur nafas. Anehnya, Paman dan Arine yang tidur di sebelah ruangan tidak mendengarku sama sekali. Ayah, ibu atau Kak Dona pun tidak datang menghampiriku, padahal teriakanku sangat keras.

Saat diam beberapa detik, tahu-tahu lampu sudah menyala kembali. Aku tersentak kaget. Tapi anehnya, lampu di ruangan itu sangat pudar dan berwarna kuning. Padahal sebelumnya lampu berwarna putih terang. Aku masih menghadap ke pintu, berjalan mundur perlahan-lahan ke belakang. Debu dan sarang laba-laba menghiasi setiap sudut tembok, membungkus lemari dan peralatan yang ada di sana. Lantai yang kupijak sangat kotor dan berpasir. Aneh sekali. Aku merasa seperti berada di masa lampau.

Masih dengan keheranan, aku berbalik menghadap jendela besar. Tiba-tiba ada sesuatu yang hampir membuat jantungku lepas. Ada sesuatu yang membuat urat nadiku hampir putus, membuat kakiku bergetar hebat karenanya. Mulutku menganga lebar, mataku terbelalak. Aku seperti disambar petir.

Ya. Di sana, di jendela itu, sebuah sosok anak perempuan seumuranku tergantung melayang dengan tali tambang melilit di lehernya. Dia menghadap ke arahku. Gadis itu memakai baju daster hingga ke lututnya. Seluruh tubuhnya berwarna putih pucat, rambut hitamnya yang panjang sebahu tergerai menutupi sebagian wajahnya. Tetapi dapat kulihat dengan jelas matanya melotot lebar seolah-olah akan keluar.

Mulutnya terbuka sedikit, dan darah mengalir lembut melalui hidung dan mulutnya. Kakinya yang bergelantungan dan bergerak sedikit ketika ada angin kencang menerpa.

Aku menjerit kencang sekali. Ini bukan rumahku. Ini bukan ruangan itu.

Kubawa kaki ini berlari menghampiri pintu dan memaksa tanganku membuka pintu itu. Tetapi pintu tetap terkunci. Aku panik. Sangat panik.
“AYAH! IBU! TOLONG AKU!!”

“Tolong aku … “

Di sudut ruangan itu, Lyssa merapatkan kedua lututnya, menunduk, dan menangis lagi. Sudah lebih dari seminggu ia disekap di dalam kamar kosong tanpa ada yang menemani seorang pun. Hanya dua buah obor yang terpajang di dinding, menyinari sedikit ruangan itu. Cahaya bulan merembes masuk melalui jendela besar di belakangnya.

Sudah banyak korban berjatuhan. Dan yang mengalami pasti selalu anak perempuan. Dan kini, Lyssa pun ikut terpilih. Semula ia tak terlalu mengerti hal itu, namun ketika ada sekelompok pria tak dikenal menawarkan permen dan boneka, Lyssa terbujuk dan menuruti perintah pria-pria itu. Lyssa dibawa ke suatu tempat yang jauh sekali dari rumahnya. Ia disuruh masuk ke dalam sel yang penuh dengan jeruji mirip seperti penjara. Di sana, banyak sekali anak-anak perempuan seumurannya yang sedang duduk membungkuk. Wajah mereka sangat memelas, seolah tidak ada harapan yang akan menyelamatkan mereka dari kengerian itu. Mereka semua sangat kurus dan cekung.

Dan inilah awal malapetaka yang dialami Lyssa. Gadis cantik itu harus menerima siksaan yang amat sangat menyakitkan. Ia tidak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya padahal di kejauhan sana, orang tua Lyssa sangat panik mengetahui anaknya hilang. Sirine mobil polisi terdengar di mana-mana. Sementara surat kabar tak henti-hentinya menampangkan berita itu; “Penculikan Anak Terus Berlanjut”.

Satu per satu anak di dalam ruangan itu dipanggil dan dijual ke luar negeri. Lyssa tidak tahu tentang itu. Yang ia tahu, pasti anak yang dipanggil akan dibawa pergi ke tempat yang sangat jauh, dan di sana akan dijadikan budak dan disiksa terus menerus.

Dan sekarang tepatnya tanggal 29 Februari, tinggal Lyssa yang terakhir berada di sel itu. Keheningan malam sangat mencekam dan menyiksa dirinya. Baju daster se-lutut sudah dipakainya selama seminggu. Ia juga menggigil kedinginan. Angin kencang terus menerpa hingga tulang-tulang kurusnya.

Sebelumnya, Lyssa dan beberapa anak lainnya sudah berusaha untuk kabur. Mereka dengan susah payah membuka jendela besar yang digembok dan dirantai. Tetapi suatu kali mereka berhasil. Mereka bisa membuka jendela itu, namun ketika melihat ke bawah, hanya sungai kotor dan hutan yang tampak. Belum lagi ketinggiannya mencapai beberapa meter, dan anak-anak itu terlalu takut untuk meloncat ke bawah. Pada saat itu juga, angin di luar berhembus kencang hingga membanting jendela besar itu. Suaranya sangat keras seperti gempa. Salah satu pria yang ada di bawah langsung berlari menaiki tangga dan memarahi anak-anak itu.

Tiba-tiba Lyssa berpikir, apa yang harus ia lakukan agar ia tidak seperti anak-anak lainnya. Bagaimana cara agar ia dapat menghindar dari semua itu. Ia sangat marah. Marah pada dirinya. Seharusnya, anak berumur 10 tahun sudah bisa menjaga diri sendiri. Ia menyesal kenapa tidak memikirkan baik-baik nasihat orang tuanya. Dan juga anak-anak lainnya. Mereka semua sangat bodoh dan tolol.

Malam itu, Lyssa mengamuk-ngamuk sendiri. Ia menangis, menendang-nendang tembok, meloncat-loncat, mendumel sendiri, dan berteriak-teriak seperti orang gila. Tiba-tiba ia melihat sejumput tali tambang di sudut ruangan. Tangisnya mendadak berhenti. Ia berpikir, ia pasti bisa melakukan sesuatu dengan tali itu. Pasti. Lyssa tersenyum, dan tertawa terbahak-bahak. Ia terus tertawa sambil berjalan mengambil tali itu. Kemudian ia perhatikan paku yang sudah berkarat yang terpajang di atas jendela besar. Tawa Lyssa meledak lagi.

Gadis malang itu mengambil kursi kayu dan menyimpannya di dekat jendela. Setelah menaikinya, ia mengikat tali tambang pada paku dengan sangat erat. Lalu di ujung lainnya, ia membuat simpul tali melingkar seperti sebuah lingkaran. Kemudian ia berbalik dan memasukkan tali itu ke lehernya. Ia pun membiarkan dirinya bergelantungan di jendela itu, membiarkan nyawanya lepas dari tubuh mungilnya.

Kejadian itu lalu terus terjadi setiap 4 tahun sekali di bulan Februari. Dan bangunan tempat penjualan anak itu pun sudah dibersihkan dan dijadikan sebuah rumah megah. Tetapi jendela besar tetap terpasang rapi di dinding, tanpa meninggalkan sedikitpun sisa-sisa luka seorang anak.

Dan setiap ada anak perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.

Aku tersentak kaget. Nafasku tersengal-sengal, peluh berkucuran di keningku. Kulihat sekelilingku. Aku masih duduk di atas matras, dengan selimut tipis dan bantal keras. Lampu di ruangan itu masih berwarna putih terang, dan sama sekali tak ada debu atau sarang laba-laba di sana. Lantainya juga bersih tidak berpasir. Aku bernapas lega. Apakah ini semua hanya mimpi? Yang kuingat, terakhir kali aku memukul-mukul pintu dan memanggil ayah dan ibuku.

Kugali lagi isi pikiranku. Di dalam mimpiku, aku melihat penderitaan Lyssa. Aku melihat bagaimana sosok gadis itu.

Dan aku mengerti.
Suara anak yang meminta tolong kemarin malam pasti adalah suara Lyssa saat ia disekap di sel. Suara jendela dibanting keras itu tak lain adalah ketika Lyssa mencoba kabur dan membuka jendela, tiba-tiba angin kencang datang membantingnya. Lalu suara tapak kaki orang itu pasti adalah suara langkah pria yang berlari menghampiri sel. Dan sel itu sedang kutempati sekarang. Kejadian itu terus berulang dan menimpa anak perempuan. Syukurlah. Aku bukan anak perempuan.

“Tapi … Tunggu.”
Setiap ada anak perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.

“Anak perempuan.
10 tahun.
Jangan-jangan …”

Dan saat aku berpaling ke belakang, di jendela itu sudah tergantung sesosok anak perempuan yang sangat kukenali.
“ARINE!!!”
                                   {Selesai}

Kamar Sebelah {Part 1}



“Tobi, tolong simpan kardus-kardus ini ke kamar sebelahmu.” perintah ibu. “Siapa tahu nanti berguna,”

Aku langsung membawa setumpuk lipatan kardus itu ke kamar di sebelahku. Saat itu kami sekeluarga baru pindah, sehingga banyak barang yang harus kami tata. Untung saja rumah baru kami sangat besar dan berlantai dua, jadi kami tidak usah bersempit-sempitan lagi seperti di rumah lama.

Saat aku masuk ke ruangan di sebelah kamarku, jendela besar langsung terpampang di sana tanpa tirai. Aku bisa melihat pemandangan hutan dari sana dengan sangat jelas. Pucuk-pucuk pepohonan melambai-lambai seolah-olah mengajakku untuk pergi ke sana. Tapi memang itu keinginanku. Aku paling suka berkemah atau menjelajahi hutan yang belum kukenal. Dan untungnya, ayah mengizinkanku untuk berkemah di hutan itu.

Siang terus berlanjut. Aku bersama kakak perempuanku, Kak Dona tidak henti-hentinya membantu ayah dan ibu, hingga waktu senja datang menjemput kami. Setelah menutup semua tirai dan membersihkan diri, kami langsung makan malam bersama di ruang makan.

Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika aku bergegas naik ke tempat tidur. Alunan musik rock yang datang dari kamar kakakku sangat menyiksaku saat itu. Meski kamarnya ada di bawah, namun musiknya tetap terdengar sampai ke telingaku.

Aku jadi benar-benar tidak bisa tidur.
Hingga akhirnya terdengar sebuah suara yang datang dari kamar di sebelahku. Sebuah suara yang lumayan keras, dan membuat lantai kamarku bergetar. Aku langsung bangkit dan memasang telinga baik-baik. Itu suara jendela dibanting. Tidak salah lagi. Tapi siapa yang membantingnya?

Dan pada saat itu juga, alunan musik rock dari kamar kakakku berhenti seketika. Suasana menjadi hening. Tetapi tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga dan melewat di depan kamarku. Setelah itu suara langkah kakinya tak terdengar lagi. Kupikir itu adalah Kak Dona yang berlari. Mungkin ia juga mendengar jendela dibanting keras, lalu segera berlari menghampiri kamar sebelahku itu. Akhirnya aku pun keluar dari kamarku.
“Kakak? Kakak ada di sana?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamar sebelahku.

Tidak ada jawaban. Karena penasaran, aku buka pintunya. Ternyata di dalamnya sama sekali tidak ada siapa-siapa, dan jendela besarnya masih tertutup dan terkunci. Aneh sekali, pikirku.

Tiba-tiba ada suara seorang anak perempuan meminta tolong!
“Tolong … Tolong aku … ”

Aku benar-benar terkejut. “Siapa itu?!” kataku

“Tolong aku … “

Aku berpaling ke sana kemari, mencari asal suara itu. Namun aku tidak menemukannya. Dan meski aku sudah berbaring di kamarku, suara menyeramkan itu terus-menerus menghantuiku sepanjang malam. Aku benar-benar ketakutan dan tidak bisa tidur.

“Benarkah?” ujar Kak Dona. “Padahal kan aku membiarkan kaset rock-ku menyala sampai tengah malam.”
“Tidak mungkin. Aku benar-benar mendengar kalau musik rock di kamar kakak mati setelah ada suara jendela dibanting itu. Lalu terdengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga,” jelasku. Saat itu kami sedang makan pagi. Aku ceritakan semuanya kepada kakak, ayah dan ibu.

Ibu hanya tersenyum mendengar perkataanku. “Mungkin kamu hanya bermimpi,”
“Kau tidak biasa dengan rumah ini, sehingga … yah halusinasimu mulai bermain dan mengganggumu.” tambah ayah. “Kalau sudah terbiasa pasti tidak akan begitu,”

Aku mengeluh di dalam hati. Mengapa mereka tidak pernah percaya padaku? Sedangkan pada Kak Dona, semua yang diceritakannya selalu ditanggapi dan dipercaya. Aku dan dia ‘kan hanya beda 3 tahun. Aku kelas 8 SMP, sedangkan dia kelas 2 SMA. Tapi kata teman-temanku, orang yang lebih tua memang lebih dipercaya.
“Oh ya, nanti malam, pamanmu akan datang menginap di sini.” kata ayah membuyarkan lamunanku. “Ia akan datang bersama Arine. Biarkan mereka memilih kamar yang mereka mau untuk ditempati,”

Arine. Ya. Siapa yang tidak mengenal dia. Anak itu sebaya denganku, tetapi punya kelebihan. Dia pintar, manja dan cantik. Orang tuanya yang kaya raya membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Semua yang diinginkannya selalu dipenuhi. Di depan orang tuaku atau orang lain, ia adalah gadis manis yang penuh sopan santun. Tapi di depanku, ia adalah anak yang sombong dan licik.“Kenapa harus memilih? Biar saja mereka tidur di kamar sebelahku.” tukasku kesal.

Ayah menatapku. “Tobi, dengarkan ayah. Pamanmu yang menemukan rumah besar ini. Pamanmu yang meminta pemilik rumah ini agar harga jualnya dipotong sehingga tidak terlalu mahal. Dan pamanmu juga yang membayar setengahnya.” Ayah diam beberapa saat, memperhatikanku lekat-lekat. “Mereka adalah tamu istimewa kita. Jadi jaga sikapmu ketika mereka datang. Kalau kau berbuat yang tidak-tidak lagi, ayah yang menentukan hukumannya. Mengerti?”

Dan malamnya mereka benar-benar datang. Ayah dan ibu mempersiapkan semua ini dengan matang. Makanan mewah dihidangkan di meja makan yang panjang dan besar itu. Semua ruangan dipel, dan Kak Dona mengenakan baju terbaiknya.
Sialnya, Arine memilih kamarku untuk ditempati.

Aku terpaksa tidur di kamar menyeramkan itu hanya dengan satu buah matras, selimut tipis dan sebuah bantal yang keras. Menyebalkan. Arine hanya tersenyum puas sambil bertolak pinggang saat ia memilih kamarku dan melihatku merengut karenanya.

Malam tiba. Seperti biasa, aku tidak bisa tidur. Lampu tidak kumatikan, dan kubiarkan selimut membungkusku hingga ke hidungku. Aku tetap terjaga. Rasanya waktu berputar cepat sekali. Pukul 9, pukul 10, pukul 11. Dan aku tetap tak bisa tidur. Telinga kupasang baik-baik. Tetapi saat itu sama sekali tak ada suara apa-apa. Satu jam pun berlalu. Tidak, tidak satu jam. Tetapi pukul 11 lewat 59 menit 55 detik. Jam dinding terus kuperhatikan dan kuhitung detiknya. 56, 57, 58, 59 … Dan saat itu, lonceng jam di ruang tamu berdentang keras. Itu sedikit membuatku terkejut. Aku benar-benar tak percaya. Ini-lah pertama kalinya dalam seumur hidup aku tidak tidur hingga pukul 12 malam.

Tiba-tiba sesuatu terjadi.

Lampu kamarku dalam sekejap mati, dan aku sangat ketakutan. Aku berlari menghampiri pintu dan berusaha membukanya. Tetapi tidak bisa. Terkunci! Padahal pintu itu tak ada kuncinya sama sekali. Aku terus memaksa membukanya dan menggedor-gedor pintunya.
“Tolong!” teriakku panik. “Tolong aku! TOLONG!”
Di sekelilingku benar-benar gelap, hitam, dan hanya sedikit cahaya yang masuk melewati jendela besar di sana. Aku tak henti-hentinya menggedor pintu. Pikiran-pikiran tentang makhluk halus atau hantu mengiang di pikiranku.

{Bersambung...}