Sesampainya di taman, aku langsung menempati bangku
Taman yang telah disediakan oleh Taman Kota. Tanpa ku sadari tiba-tiba ada
seseorang yang memegang bahu kiriku dari arah belakang. Aku tersontak kaget dan
langsung berdiri dan menghadap belakang. Ku pandang mata jernih orang yang
memegang pundakku tadi. ‘Oh no, laki-laki itu.’ Bisik batinku. Laki-laki itu
pun tersenyum manis ke arahku. Sedangkan aku terpaku dalam keringat dingin yang
tiba-tiba ke luar dari pelipisku.
“Mellani, kan?” Sapanya terlebih dahulu dan
mengulurkan tangannya. Ku pandang dengan heran tingkahnya yang satu itu.
“Ternyata dia kenal sama aku.” Bisik batinku lagi.
“Maaf, Mellani, kan?” Ulangnya lagi. Aku mengangguk
kecil sambil membalas uluran tangan laki-laki itu.
“Aku Deni.” Ucapnya ragu-ragu tapi pasti. Aku yang
mendengar tiba-tiba terperangkap bingung.
“Deni?” Ulangku tak yakin.
“Iya. Aku Deni, teman SD-mu.”
“Kenapa selama kamu jadi tetanggaku, kamu tak pernah
bilang kalau kamu itu Deni?” Tanyaku cukup kecewa.
“Aku malu. Takut tiba-tiba kamu tak kenal denganku.”
Ucapnya pasrah.
“Asalkan kamu tahu, aku tak pernah melupakanmu.
Karena kamu adalah sahabatku di saat SD dan…” Ucapanku terputus.
“Dan apa?” Ulangnya.
“Ya, kamu sahabatku.” Aku pun kembali terduduk.
Perasaanku saat ini bahagia dan sedikit kecewa karena aku baru tahu sekarang
karena laki-laki yang sering ku lihat itu adalah Deni, sahabat SD-ku dan orang
yang selama ini ku tunggu-tunggu.
“Dan asal kamu tahu, aku adalah orang misteriusmu.”
Ucapnya cukup pelan, tetapi aku cukup mendengarnya dengan jelas.
“Apa?” Aku mendongkakkan kepala ku ke atas dan
melihat mukanya yang cukup pucat pasi karena takut. mungkin. “Jadi yang sering
mengirim benda-benda aneh itu kamu?” Tanyaku heran.
“Iya.” Jawabnya pucat.
‘Ya, Tuhan kenapa aku tak menyadarinya?’ Ucap
batinku sedih. Aku pun terdiam. Deni merasakan kebisuanku dan duduk di
sampingku.
“Kamu marah?” Tanya laki-laki itu pelan. Aku tak
menjawab secara langsung.
“Aku tak marah. Aku cukup bahagia, bahkan aku
senang. Tetapi aku sedih karena aku baru menyadarinya.” Ucap hati kecilku.
“Tidak. Aku tak marah.” jawabku pasti. Ku berikan
senyuman manisku untuk laki-laki yang berada di sampingku kali ini.
“Yakin?” Tanyanya kurang percaya.
“Iya. Yakin!” jawabku mantap.
“Maaf jika kamu terganggu dengan kiriman dariku, itu
hanya sebagian kecil dariku untuk mengungkapkan perasaanku.” Ucapnya begitu
mantap dan jujur. Aku terpaku oleh ucapannya. Aku benar-benar tak bisa
menjawab. “Sekali lagi maaf, Mellani.” Sambungnya.
“Hah? Iya, Den.” jawabku singkat.
“Dan…” Ucapnya terputus.
“Dan apa?” Tanyaku bingung.
“Mau kamu jadi kekasihku?” Ucapnya pelan dan
malu-malu.
“Apa?” Tanyaku heran.
“Maaf, kalau aku lancang.” Ucapnya was-was.
Aku bingung ingin menjawab apa. Ucapannya cukup
membuatku bimbang. Ku paksakan saja kepalaku mengangguk pelan.
“Ya aku mau.” jawabku malu.
“Hah?” Deni tak percaya. Aku hanya tersenyum.
“Akhirnya.” Seru laki-laki itu. Aku hanya malu-malu di hadapannya sambil
senyum-senyum aneh.
“Tamat!!!”
“Tamat!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar