Harry Potter - Golden Snitch Kumpulan Cerpen Menarik: Oktober 2015
Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com

Sabtu, 03 Oktober 2015

Kamar Sebelah {Part 2}



Aku diam sebentar dan mengatur nafas. Anehnya, Paman dan Arine yang tidur di sebelah ruangan tidak mendengarku sama sekali. Ayah, ibu atau Kak Dona pun tidak datang menghampiriku, padahal teriakanku sangat keras.

Saat diam beberapa detik, tahu-tahu lampu sudah menyala kembali. Aku tersentak kaget. Tapi anehnya, lampu di ruangan itu sangat pudar dan berwarna kuning. Padahal sebelumnya lampu berwarna putih terang. Aku masih menghadap ke pintu, berjalan mundur perlahan-lahan ke belakang. Debu dan sarang laba-laba menghiasi setiap sudut tembok, membungkus lemari dan peralatan yang ada di sana. Lantai yang kupijak sangat kotor dan berpasir. Aneh sekali. Aku merasa seperti berada di masa lampau.

Masih dengan keheranan, aku berbalik menghadap jendela besar. Tiba-tiba ada sesuatu yang hampir membuat jantungku lepas. Ada sesuatu yang membuat urat nadiku hampir putus, membuat kakiku bergetar hebat karenanya. Mulutku menganga lebar, mataku terbelalak. Aku seperti disambar petir.

Ya. Di sana, di jendela itu, sebuah sosok anak perempuan seumuranku tergantung melayang dengan tali tambang melilit di lehernya. Dia menghadap ke arahku. Gadis itu memakai baju daster hingga ke lututnya. Seluruh tubuhnya berwarna putih pucat, rambut hitamnya yang panjang sebahu tergerai menutupi sebagian wajahnya. Tetapi dapat kulihat dengan jelas matanya melotot lebar seolah-olah akan keluar.

Mulutnya terbuka sedikit, dan darah mengalir lembut melalui hidung dan mulutnya. Kakinya yang bergelantungan dan bergerak sedikit ketika ada angin kencang menerpa.

Aku menjerit kencang sekali. Ini bukan rumahku. Ini bukan ruangan itu.

Kubawa kaki ini berlari menghampiri pintu dan memaksa tanganku membuka pintu itu. Tetapi pintu tetap terkunci. Aku panik. Sangat panik.
“AYAH! IBU! TOLONG AKU!!”

“Tolong aku … “

Di sudut ruangan itu, Lyssa merapatkan kedua lututnya, menunduk, dan menangis lagi. Sudah lebih dari seminggu ia disekap di dalam kamar kosong tanpa ada yang menemani seorang pun. Hanya dua buah obor yang terpajang di dinding, menyinari sedikit ruangan itu. Cahaya bulan merembes masuk melalui jendela besar di belakangnya.

Sudah banyak korban berjatuhan. Dan yang mengalami pasti selalu anak perempuan. Dan kini, Lyssa pun ikut terpilih. Semula ia tak terlalu mengerti hal itu, namun ketika ada sekelompok pria tak dikenal menawarkan permen dan boneka, Lyssa terbujuk dan menuruti perintah pria-pria itu. Lyssa dibawa ke suatu tempat yang jauh sekali dari rumahnya. Ia disuruh masuk ke dalam sel yang penuh dengan jeruji mirip seperti penjara. Di sana, banyak sekali anak-anak perempuan seumurannya yang sedang duduk membungkuk. Wajah mereka sangat memelas, seolah tidak ada harapan yang akan menyelamatkan mereka dari kengerian itu. Mereka semua sangat kurus dan cekung.

Dan inilah awal malapetaka yang dialami Lyssa. Gadis cantik itu harus menerima siksaan yang amat sangat menyakitkan. Ia tidak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya padahal di kejauhan sana, orang tua Lyssa sangat panik mengetahui anaknya hilang. Sirine mobil polisi terdengar di mana-mana. Sementara surat kabar tak henti-hentinya menampangkan berita itu; “Penculikan Anak Terus Berlanjut”.

Satu per satu anak di dalam ruangan itu dipanggil dan dijual ke luar negeri. Lyssa tidak tahu tentang itu. Yang ia tahu, pasti anak yang dipanggil akan dibawa pergi ke tempat yang sangat jauh, dan di sana akan dijadikan budak dan disiksa terus menerus.

Dan sekarang tepatnya tanggal 29 Februari, tinggal Lyssa yang terakhir berada di sel itu. Keheningan malam sangat mencekam dan menyiksa dirinya. Baju daster se-lutut sudah dipakainya selama seminggu. Ia juga menggigil kedinginan. Angin kencang terus menerpa hingga tulang-tulang kurusnya.

Sebelumnya, Lyssa dan beberapa anak lainnya sudah berusaha untuk kabur. Mereka dengan susah payah membuka jendela besar yang digembok dan dirantai. Tetapi suatu kali mereka berhasil. Mereka bisa membuka jendela itu, namun ketika melihat ke bawah, hanya sungai kotor dan hutan yang tampak. Belum lagi ketinggiannya mencapai beberapa meter, dan anak-anak itu terlalu takut untuk meloncat ke bawah. Pada saat itu juga, angin di luar berhembus kencang hingga membanting jendela besar itu. Suaranya sangat keras seperti gempa. Salah satu pria yang ada di bawah langsung berlari menaiki tangga dan memarahi anak-anak itu.

Tiba-tiba Lyssa berpikir, apa yang harus ia lakukan agar ia tidak seperti anak-anak lainnya. Bagaimana cara agar ia dapat menghindar dari semua itu. Ia sangat marah. Marah pada dirinya. Seharusnya, anak berumur 10 tahun sudah bisa menjaga diri sendiri. Ia menyesal kenapa tidak memikirkan baik-baik nasihat orang tuanya. Dan juga anak-anak lainnya. Mereka semua sangat bodoh dan tolol.

Malam itu, Lyssa mengamuk-ngamuk sendiri. Ia menangis, menendang-nendang tembok, meloncat-loncat, mendumel sendiri, dan berteriak-teriak seperti orang gila. Tiba-tiba ia melihat sejumput tali tambang di sudut ruangan. Tangisnya mendadak berhenti. Ia berpikir, ia pasti bisa melakukan sesuatu dengan tali itu. Pasti. Lyssa tersenyum, dan tertawa terbahak-bahak. Ia terus tertawa sambil berjalan mengambil tali itu. Kemudian ia perhatikan paku yang sudah berkarat yang terpajang di atas jendela besar. Tawa Lyssa meledak lagi.

Gadis malang itu mengambil kursi kayu dan menyimpannya di dekat jendela. Setelah menaikinya, ia mengikat tali tambang pada paku dengan sangat erat. Lalu di ujung lainnya, ia membuat simpul tali melingkar seperti sebuah lingkaran. Kemudian ia berbalik dan memasukkan tali itu ke lehernya. Ia pun membiarkan dirinya bergelantungan di jendela itu, membiarkan nyawanya lepas dari tubuh mungilnya.

Kejadian itu lalu terus terjadi setiap 4 tahun sekali di bulan Februari. Dan bangunan tempat penjualan anak itu pun sudah dibersihkan dan dijadikan sebuah rumah megah. Tetapi jendela besar tetap terpasang rapi di dinding, tanpa meninggalkan sedikitpun sisa-sisa luka seorang anak.

Dan setiap ada anak perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.

Aku tersentak kaget. Nafasku tersengal-sengal, peluh berkucuran di keningku. Kulihat sekelilingku. Aku masih duduk di atas matras, dengan selimut tipis dan bantal keras. Lampu di ruangan itu masih berwarna putih terang, dan sama sekali tak ada debu atau sarang laba-laba di sana. Lantainya juga bersih tidak berpasir. Aku bernapas lega. Apakah ini semua hanya mimpi? Yang kuingat, terakhir kali aku memukul-mukul pintu dan memanggil ayah dan ibuku.

Kugali lagi isi pikiranku. Di dalam mimpiku, aku melihat penderitaan Lyssa. Aku melihat bagaimana sosok gadis itu.

Dan aku mengerti.
Suara anak yang meminta tolong kemarin malam pasti adalah suara Lyssa saat ia disekap di sel. Suara jendela dibanting keras itu tak lain adalah ketika Lyssa mencoba kabur dan membuka jendela, tiba-tiba angin kencang datang membantingnya. Lalu suara tapak kaki orang itu pasti adalah suara langkah pria yang berlari menghampiri sel. Dan sel itu sedang kutempati sekarang. Kejadian itu terus berulang dan menimpa anak perempuan. Syukurlah. Aku bukan anak perempuan.

“Tapi … Tunggu.”
Setiap ada anak perempuan berumur 10 tahun berada di bangunan itu saat tanggal 29 Februari, ia akan ikut merasakan penderitaan seperti yang pernah dialami Lyssa.

“Anak perempuan.
10 tahun.
Jangan-jangan …”

Dan saat aku berpaling ke belakang, di jendela itu sudah tergantung sesosok anak perempuan yang sangat kukenali.
“ARINE!!!”
                                   {Selesai}

Kamar Sebelah {Part 1}



“Tobi, tolong simpan kardus-kardus ini ke kamar sebelahmu.” perintah ibu. “Siapa tahu nanti berguna,”

Aku langsung membawa setumpuk lipatan kardus itu ke kamar di sebelahku. Saat itu kami sekeluarga baru pindah, sehingga banyak barang yang harus kami tata. Untung saja rumah baru kami sangat besar dan berlantai dua, jadi kami tidak usah bersempit-sempitan lagi seperti di rumah lama.

Saat aku masuk ke ruangan di sebelah kamarku, jendela besar langsung terpampang di sana tanpa tirai. Aku bisa melihat pemandangan hutan dari sana dengan sangat jelas. Pucuk-pucuk pepohonan melambai-lambai seolah-olah mengajakku untuk pergi ke sana. Tapi memang itu keinginanku. Aku paling suka berkemah atau menjelajahi hutan yang belum kukenal. Dan untungnya, ayah mengizinkanku untuk berkemah di hutan itu.

Siang terus berlanjut. Aku bersama kakak perempuanku, Kak Dona tidak henti-hentinya membantu ayah dan ibu, hingga waktu senja datang menjemput kami. Setelah menutup semua tirai dan membersihkan diri, kami langsung makan malam bersama di ruang makan.

Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika aku bergegas naik ke tempat tidur. Alunan musik rock yang datang dari kamar kakakku sangat menyiksaku saat itu. Meski kamarnya ada di bawah, namun musiknya tetap terdengar sampai ke telingaku.

Aku jadi benar-benar tidak bisa tidur.
Hingga akhirnya terdengar sebuah suara yang datang dari kamar di sebelahku. Sebuah suara yang lumayan keras, dan membuat lantai kamarku bergetar. Aku langsung bangkit dan memasang telinga baik-baik. Itu suara jendela dibanting. Tidak salah lagi. Tapi siapa yang membantingnya?

Dan pada saat itu juga, alunan musik rock dari kamar kakakku berhenti seketika. Suasana menjadi hening. Tetapi tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga dan melewat di depan kamarku. Setelah itu suara langkah kakinya tak terdengar lagi. Kupikir itu adalah Kak Dona yang berlari. Mungkin ia juga mendengar jendela dibanting keras, lalu segera berlari menghampiri kamar sebelahku itu. Akhirnya aku pun keluar dari kamarku.
“Kakak? Kakak ada di sana?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamar sebelahku.

Tidak ada jawaban. Karena penasaran, aku buka pintunya. Ternyata di dalamnya sama sekali tidak ada siapa-siapa, dan jendela besarnya masih tertutup dan terkunci. Aneh sekali, pikirku.

Tiba-tiba ada suara seorang anak perempuan meminta tolong!
“Tolong … Tolong aku … ”

Aku benar-benar terkejut. “Siapa itu?!” kataku

“Tolong aku … “

Aku berpaling ke sana kemari, mencari asal suara itu. Namun aku tidak menemukannya. Dan meski aku sudah berbaring di kamarku, suara menyeramkan itu terus-menerus menghantuiku sepanjang malam. Aku benar-benar ketakutan dan tidak bisa tidur.

“Benarkah?” ujar Kak Dona. “Padahal kan aku membiarkan kaset rock-ku menyala sampai tengah malam.”
“Tidak mungkin. Aku benar-benar mendengar kalau musik rock di kamar kakak mati setelah ada suara jendela dibanting itu. Lalu terdengar suara langkah kaki berlari menaiki tangga,” jelasku. Saat itu kami sedang makan pagi. Aku ceritakan semuanya kepada kakak, ayah dan ibu.

Ibu hanya tersenyum mendengar perkataanku. “Mungkin kamu hanya bermimpi,”
“Kau tidak biasa dengan rumah ini, sehingga … yah halusinasimu mulai bermain dan mengganggumu.” tambah ayah. “Kalau sudah terbiasa pasti tidak akan begitu,”

Aku mengeluh di dalam hati. Mengapa mereka tidak pernah percaya padaku? Sedangkan pada Kak Dona, semua yang diceritakannya selalu ditanggapi dan dipercaya. Aku dan dia ‘kan hanya beda 3 tahun. Aku kelas 8 SMP, sedangkan dia kelas 2 SMA. Tapi kata teman-temanku, orang yang lebih tua memang lebih dipercaya.
“Oh ya, nanti malam, pamanmu akan datang menginap di sini.” kata ayah membuyarkan lamunanku. “Ia akan datang bersama Arine. Biarkan mereka memilih kamar yang mereka mau untuk ditempati,”

Arine. Ya. Siapa yang tidak mengenal dia. Anak itu sebaya denganku, tetapi punya kelebihan. Dia pintar, manja dan cantik. Orang tuanya yang kaya raya membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Semua yang diinginkannya selalu dipenuhi. Di depan orang tuaku atau orang lain, ia adalah gadis manis yang penuh sopan santun. Tapi di depanku, ia adalah anak yang sombong dan licik.“Kenapa harus memilih? Biar saja mereka tidur di kamar sebelahku.” tukasku kesal.

Ayah menatapku. “Tobi, dengarkan ayah. Pamanmu yang menemukan rumah besar ini. Pamanmu yang meminta pemilik rumah ini agar harga jualnya dipotong sehingga tidak terlalu mahal. Dan pamanmu juga yang membayar setengahnya.” Ayah diam beberapa saat, memperhatikanku lekat-lekat. “Mereka adalah tamu istimewa kita. Jadi jaga sikapmu ketika mereka datang. Kalau kau berbuat yang tidak-tidak lagi, ayah yang menentukan hukumannya. Mengerti?”

Dan malamnya mereka benar-benar datang. Ayah dan ibu mempersiapkan semua ini dengan matang. Makanan mewah dihidangkan di meja makan yang panjang dan besar itu. Semua ruangan dipel, dan Kak Dona mengenakan baju terbaiknya.
Sialnya, Arine memilih kamarku untuk ditempati.

Aku terpaksa tidur di kamar menyeramkan itu hanya dengan satu buah matras, selimut tipis dan sebuah bantal yang keras. Menyebalkan. Arine hanya tersenyum puas sambil bertolak pinggang saat ia memilih kamarku dan melihatku merengut karenanya.

Malam tiba. Seperti biasa, aku tidak bisa tidur. Lampu tidak kumatikan, dan kubiarkan selimut membungkusku hingga ke hidungku. Aku tetap terjaga. Rasanya waktu berputar cepat sekali. Pukul 9, pukul 10, pukul 11. Dan aku tetap tak bisa tidur. Telinga kupasang baik-baik. Tetapi saat itu sama sekali tak ada suara apa-apa. Satu jam pun berlalu. Tidak, tidak satu jam. Tetapi pukul 11 lewat 59 menit 55 detik. Jam dinding terus kuperhatikan dan kuhitung detiknya. 56, 57, 58, 59 … Dan saat itu, lonceng jam di ruang tamu berdentang keras. Itu sedikit membuatku terkejut. Aku benar-benar tak percaya. Ini-lah pertama kalinya dalam seumur hidup aku tidak tidur hingga pukul 12 malam.

Tiba-tiba sesuatu terjadi.

Lampu kamarku dalam sekejap mati, dan aku sangat ketakutan. Aku berlari menghampiri pintu dan berusaha membukanya. Tetapi tidak bisa. Terkunci! Padahal pintu itu tak ada kuncinya sama sekali. Aku terus memaksa membukanya dan menggedor-gedor pintunya.
“Tolong!” teriakku panik. “Tolong aku! TOLONG!”
Di sekelilingku benar-benar gelap, hitam, dan hanya sedikit cahaya yang masuk melewati jendela besar di sana. Aku tak henti-hentinya menggedor pintu. Pikiran-pikiran tentang makhluk halus atau hantu mengiang di pikiranku.

{Bersambung...}

Jumat, 02 Oktober 2015

Belajar Melihat Jin



Aku punya teman yang bisa melihat jin atau makhluk gaib. Dia sering membicarakan hal ini dengan teman dia yang lain. Mulanya aku tak percaya dengannya ku kira dia hanya membual dan bercerita fiksi untuk meramaikan suasana. Hingga pada akhirnya aku mulai percaya, alasannya karena ia bercerita tentang hal itu begitu meyakinkan.

Pada suatu hari, aku berbicara kepadanya untuk membuktikan bahwa cerita yang dia ceritakan tentang jin atau makhluk gaib itu sungguhan. Tentu saja ia tidak mau langsung membuktikan bahwa itu nyata. Dia bercerita sebab akibat jika nanti bisa melihat makhluk gaib. Dia juga menceritakan pengalaman dia ketika melawan jin Ifrit, disandera jin, berjalan tanpa raga, dan lain-lain. Dari segi cerita, itu seru juga, tapi dia mengingatkan, “Jika nanti kau melihat ‘mereka’, kau akan kaget dan mungkin bisa kerasukan.”

Aku berpikir ulang untuk meyakinkan bahwa cerita dia itu sungguhan. Tapi karena rasa penasaranku sudah memuncak, aku pun setuju dan menanggung segala akibatnya. Dia tidak mau menunjukkan langsung kepadaku secara cepat, mula-mula aku disuruh untuk merasakan kehadiran mereka. Dia menyuruhku untuk membaca surat Al-Fatihah, An-Nas dan Al-Ikhlas. Selain itu, dia juga menyuruhku untuk fokus dan memejamkan mata dan tarik napas dan keluarkan sebelum dimulai. Setelah aku membaca ketiga surat itu secara berulang-ulang, aku mulai merasakan dingin di sekitar tangan dan kakiku. Aku menggigil kemudian dia menyuruhku untuk membuka mata.

Dia bertanya kepadaku “bagaimana rasanya?” Aku hanya menjawab.
“luar biasa, mereka itu ada.” Dia bertanya lagi kepadaku.
“apa kau mau melihat ‘mereka’?” kemudian aku menjawab dengan yakin.
“Mau.”

Dia menyuruhku untuk melakukan hal yang ‘tadi’ setelah ia beri tanda, maka barulah membuka mata. Setelah aku melakukan hal-hal yang ‘tadi’ aku lakukan, akhirnya ia memberi tanda kepadaku lalu dengan cepat aku membuka mata. Dia bertanya kepadaku.
“apa kau melihatnya?” Dengan kecewa aku menjawab.
“tidak sama sekali.” Dia juga bingung kenapa aku tidak melihat jin atau makhluk gaib di ruangan ini. Aku diberitahu dia bahwa ada 4 jin di ruangan yang sedang kami tempati.

Dia berpikir sejenak dan akhirnya ia mendapat ide.
“Nah aku tahu, bagaimana kalau kamu aku perlihatkan temanku dari sebangsa mereka?” Aku terjekut dan bertanya.
“Apa? Kamu punya teman dari sebangsa jin?” Dia menjawab dengan sangat santai.
“Punya. Sekarang itu sekitar 45 jin yang menjadi teman aku.” Aku diam seribu bahasa karena begitu terkejut.

Beberapa saat kemudian, dia menyuruhku untuk melihat ke arah sofa pada satu titik. Aku berusaha terus-menerus tapi sama saja. Dia menyemangatiku untuk bisa melihat makhluk gaib temannya itu. Aku tidak akan menyerah untuk melihat makhluk gaib. Hingga pada akhirnya aku melihat sofa di depanku itu semakin samar-samar dan tidak terlihat. Aku terkejut dan terus memfokuskan pandanganku pada satu titik. Akan tetapi kefokusanku itu sudah memudar hingga akhirnya aku menyerah dan dalam pandanganku, sofa itu kembali lagi.

Dia bertanya kepadaku.
“Apa yang kau lihat?” Aku menjawab.
“Tadi aku melihat sofa itu tampak seperti hilang. Tapi sebelum sofa itu tampak seperti hilang, sofa itu mengeluarkan cahaya terang.” Dia sangat senang akhirnya aku bisa melihat ‘teman’ dia itu.
“Tapi tadi aku menyuruh dia untuk tidak menampakkan dirinya secara utuh.”
“Oh jadi begitu.”

Dia mengajakku untuk pulang bersama. Setelah kejadian tadi, tubuhku terasa lemas dan kepalaku terasa pusing. Dia menyampaikan hal kepadaku.
“Syarif, kenapa kamu? Pandangan matamu tajam sekali. Jika nanti kamu sampai rumah bisa melihat mereka, beritahu aku.”
“Perasaan aku melihat dia seperti biasanya, tapi kenapa dia berkata bahwa pandanganku kepada dia itu tajam sekali sampai-sampai membuat dia berkata begitu.” Dalam hatiku berkata.

Beberapa kemudian, aku menemui dia lagi untuk mempelajari ‘Cara melihat makhluk gaib’. Seperti biasa, sebelum memulai dia memperingatkanku lagi.
“Apa kamu tidak melihat mereka di rumahmu? Jangan takut atau nanti kamu akan trauma berat.” Dengan sedikit berdebar aku menjawab.
“Tidak. Doakan saja aku tidak takut dengan mereka oke.”

Aku meminta kepada dia untuk mulai melihat mereka lagi karena rasa penasaranku belum terjawab tuntas dengan segala rupa bentuk mereka. Sebelum mulai dia memberikan sugesti “Jangan takut! Mereka itu hanya jin yang tingkatnya lebih rendah dari kita, manusia. Anggap saja dirimu itu lebih kuat dari mereka.” Aku hanya mengganggukkan kepalaku. Dia menyuruhku untuk membaca serangkai surat Al-Fatihah, An-Nas, dan Al-Ikhlas sambil memejamkan mata. Setelah selesai, dia menyuruhku melihat ke arah atap sambil meyakinkan bahwa ada sesuatu di sana. Aku melihat atap itu dan beberapa menit kemudian, atap itu tampak bercahaya lalu kemudian redup lagi, terus-menerus seperti itu hingga akhirnya aku menyerah.

Dia menyampaikan hal yang lebih mudah untuk melihat jin atau makhluk gaib. Dia membawaku ke tangga, dia akan menyampaikan cara untuk melihat mereka. Di sela-sela penyampaian dia itu, aku merasa seperti ada yang menyentuh punggungku.
Dia berkata, “Iya itu mereka. Mereka mengajakmu untuk bermain.” Entah apa maksud dia itu aku hanya melamun sambil melihat dia.

Setelah itu, dia berusaha membuka mata batin milikku. Entah dengan cara apa dia membukanya. Aku disuruh memejamkan mata dan dia mulai melakukan cara untuk membuka mata batin milikku. Beberapa saat kemudian, dia menyuruhku untuk membuka mata dan kembali menatap atap yang tadi kembali. Aku tidak merasakan hal yang berbeda, tampak sama saja. Dia bete karena aku tidak bisa melihat mereka. Dia mengajakku untuk pulang. Tapi sebelum pulang dia menyampaikan beberapa hal kepadaku.

“Sesungguhnya mereka itu juga ciptaan Tuhan sehingga kamu juga tidak boleh menghina atau bahkan memperbudak mereka untuk kepentingan pribadi.”

Mulai saat itu, aku tertarik dengan mereka dan rasa penasaranku belum terjawab sampai kini.

                                                   {Selesai}

Bahagia itu Sederhana {Part 2}



Genre : Romance

Begitu kusesali apa yang telah terjadi padaku waktu itu. Sungguh rasa malu sangat ku rasakan saat itu hingga sampai sekarang aku masih dihantui rasa malu dan bersalah. Aku tak berani lagi menatap Diraz secara langsung ataupun bertemu dia. Memang benar apa yang dikatakan Bela jika aku tak pantas untuk menyukai apalagi mencintai Diraz, cowok yang memiliki banyak kelebihan dan idola para gadis di kampusku. Jadi aku harus melupakan perasaanku pada Diraz. Namun, Sonya bilang padaku kalau rasa suka atau cinta itu adalah hak masing-masing manusia. Jadi sah-sah saja dan tak ada yang bisa melarang. Aku lebih memilih apa yang dikatakan Sonya karena memang aku tak sanggup membunuh perasaan ini. Aku akan berusaha agar perasaan ini terjaga dengan baik sehingga tak ada lagi seorang pun yang tahu.

Aku adalah makhluk biasa yang mempunyai rasa cinta pada seseorang. Sebenarnya memang tak salah jika kita mencintai seseorang. Tapi, kenapa Diraz sampai begitu benci padaku yang mencintainya. Sampai saat ini aku tak menemukan jawaban itu. Namun aku tak akan ambil pusing. Sudah cukup bagiku hanya merasakan cinta ini, mengagumi dari jauh dan yang terpenting Diraz bahagia dan baik-baik saja maka aku pun turut bahagia. Cinta tak bisa dipaksakan, cinta tak harus memiliki dan cinta tetaplah cinta yang hanya bisa dinilai oleh hati.


“Mikha, kamu baik-baik saja, kan? Dari tadi aku perhatikan dirimu melamun terus. Ada masalah sahabatku? Cerita saja!” ujar Sonya dengan suara pelan karena kami sedang kuliah dan dosen lagi memberikan penjelasan di depan dengan suara lantang.
Aku hanya menggeleng lalu tersenyum dan mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan agak ke depan. Aku menatap sosok Diraz dari belakang.
“Ooh, aku tahu. Tentang Diraz ya? Hehee… cerita saja sehabis kuliah nanti, Kha!” kata Sonya sambil mencubit gemas pipiku.


Hanya meringis yang bisa kulakukan akibat cubitan Sonya. Sudah menjadi kebiasaannya mencubiti pipiku yang katanya buat gemas. Biasanya aku akan membalas mencubit pipinya juga, tapi aku ingat kondisi jika saat ini kami sedang mengikuti perkuliahan. Satu jam kemudian sang dosen telah meninggalkan ruangan. Aku mengambil botol minum dari dalam tasku dan meneguknya sedikit demi sedikit.
“Ayo dong cerita, cerita, cerita!” Sonya membalik kursi dan menghadapku. Wajahnya yang imut terlihat makin imut jika matanya memancarkan rasa penasaran.


Setelah Diraz dan teman-teman yang lain sudah pada keluar, aku menceritakan semua yang aku rasakan, aku yang tak bisa menghilangkan rasa istimewaku pada Diraz, aku yang bingung kenapa Diraz terlihat membenciku dan sangat terganggu jika aku mempunyai rasa suka padanya.
“Begitulah, Son. Aku hanya berharap saat ini Diraz, Bela dan teman-teman yang lain menyangka kalau aku sudah benar-benar melupakan Diraz dan tak lagi menyukainya,”
“Aku doakan itu Mikha. Kagum deh pada dirimu yang sanggup menghadapi perasaan seperti ini. Menyimpannya dan menahannya hingga sekarang. Aku akan bantu mencari tahu kenapa Diraz bersikap seperti itu padamu. Sahabatku ini kan gadis yang cantik, lucu, baik hati dan pintar. Bila dibandingkan dengan si Bela yang jahat itu, kamu lebih segalanya dari dia. Yakinlah kalau Diraz lebih memilihmu daripada Bela. Sebelum kejadian yang gara-gara Bela itu, Diraz kan baik-baik saja padamu seperti biasanya, duduk berdekatan dengan kita, masih ngobrol dan dia masih sering jahilin kamu. Mungkin ada sesuatu hal yang membuat Diraz berubah seolah membencimu terus-terusan Mikha,”

Pikiranku menerawang dan mencerna perkataan Sonya. Benar juga, sejak Diraz tahu kalau aku menyukainya itulah yang membuat sikapnya berubah dan membenciku. Sangat aku sesali tindakan Bela yang waktu itu membuatku malu dihadapan Diraz dan teman-teman kuliahku. Seandainya itu tak terjadi tentu sekarang aku masih bisa berteman dan dekat dengan Diraz. Aku merasa bangga bisa dekat dengan Diraz dibanding para cewek-cewek lainnya. Bela yang sudah lama menyukai Diraz saja tidak terlalu dekat. Malah Diraz pernah bilang jika dia agak risih dengan Bela yang agresif.
“Hanya dengan kamu aku merasa nyaman Mikha,” kata Diraz kira-kira sebulan yang lalu saat kami masih sebagai teman dekat.

Aku tersenyum mengingat kenangan yang kurang lebih sudah dua tahun kami lalui bersama, yang awalnya kenal karena masuk organisasi yang sama hingga menjalin pertemanan yang sangat akrab. Pada akhirnya aku merasakan jatuh cinta padanya sekitar enam bulan yang lalu. Rasa cinta itu hanya aku simpan dan berusaha tak ada yang tahu sekalipun pada Sonya, sahabatku dari SMA. Namun, tak kusangka akan ketahuan oleh Bela yang tak suka pada diriku karena dekat dengan Diraz. Terjadilah hal yang aku takutkan, kenyataan bahwa aku telah jauh dari Diraz, seseorang yang aku cintai.
Selalu berusaha tak menangisi kenyataan ini karena aku tetap merasakan bahagia. Cinta yang suci tanpa syarat akan selalu menciptakan kebahagiaan. Walau Diraz telah jauh, aku masih bisa memandang sosoknya diam-diam, itu suatu kebahagiaan. Walau tak berkomunikasi dengannya lagi, aku masih tahu kegiatannya dari membaca status facebook-nya, itu juga suatu kebahagiaan. Walau dia tak tersenyum lagi untukku tapi aku masih bisa melihat senyumnya saat dia tersenyum pada Sonya, itu pun suatu kebahagiaan. Walau seakan sikapnya padaku menunjukkan kebencian, aku masih bahagia karena itu berarti dia masih menganggapku ada. Bahagia itu menurutku sangatlah sederhana ketika aku merasakan cinta pada seseorang. Cinta suci tanpa syarat dan tanpa mengharapkan apa-apa.
***
Aku mencari sosok Sonya karena tak kulihat dirinya di ruang kuliah ini padahal tasnya sudah ada. Kulangkahkan kaki menuju halaman belakang kampus yang menjadi tempat bermain futsal. Ternyata Sonya ada di sana lagi duduk berdua dengan Diraz. Aku melangkah dengan diam-diam mendekati arah belakang mereka dan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Jadi begitulah sebabnya kenapa aku marah sekali saat tahu Mikha benar-benar jatuh cinta padaku juga, Sonya. Aku telah berusaha membunuh rasa cintaku padanya setelah tahu kenyataan pahit itu. Aku tak menyangka ternyata Mikha juga cinta padaku. Aku ingin marah, aku tak ingin takdir ini!” kata Diraz terbata-terbata menjelaskan pada Sonya sambil menyeka matanya yang berair.
“Aku mengerti Diraz jika kamu bertindak seolah membenci Mikha, agar Mikha juga membencimu dan melupakanmu. Tapi, caramu tak berhasil karena Mikha tetap menyayangimu. Menurutku sebaiknya kamu bilang yang sebenarnya jika kamu terkena HIV, aku yakin Mikha mengerti dan tak akan memandang negatif tentang dirimu,”

Air mataku jatuh perlahan. Aku menangis mengetahui hal yang sebenarnya kenapa Diraz berubah sikap padaku. Ketahuilah Diraz, bagaimanapun kondisimu, aku akan tetap mencintaimu. Cukup hanya dengan mencintaimu aku bisa bahagia. Kapan pun dan bagaimana pun keadaannya, cinta yang tulus dan suci tanpa syarat hanyalah untukmu.
                                                  {Selesai}

Bahagia itu Sederhana {Part 1}



Genre : Romance

Perasaan hangat saat merasakan rasa istimewa, melambungkan angan-anganku sejauh-jauhnya hingga tak terjamah lagi oleh mata manusia manapun. Keberanian menyeruak dari hati yang terdalam menepiskan rasa ragu atas perasaan yang tengah kurasakan kini. Sejenak aku mencoba singgah dan saat itu juga aku tak mau pergi lagi. Masih tetap singgah walau mungkin tak terlihat. Hanya bisa menepi dan bersembunyi di balik dinding yang bernamakan kerahasiaan. Sungguh aku tahu hal ini tak mudah, namun aku sudah terlanjur terbawa arus atas sosoknya yang indah di pandanganku. Aku merasakan kebahagiaan. Bahagia yang sederhana ketika merasakan rasa istimewa.

Tetapi terkadang ada perih yang kurasakan. Terkadang juga ada sedikit kebahagiaan yang kudapatkan. Tinggal bagaimana aku bisa memaknai dan sampai sejauh mana aku sanggup bertahan akan perasaan tak terbalas ini. Aku hanya manusia yang memiliki hati dan kebetulan merasakan rasa istimewa pada manusia yang juga memiliki hati. Bedanya denganku, manusia yang bernama Diraz tak memiliki rasa istimewa pada manusia yang bernama Mikha. Kini aku terdampar di tengah lautan hatinya. Aku tenggelam dalam lembah perasaanku. Tak akan ada yang bisa membawaku ke daratan karena besarnya ombak cinta yang tengah menggulungku. Tapi sungguh aku merasakan bahagia. Bahagia itu sederhana ketika kita jatuh cinta.

“Aduh, sakit!” keluhku meringis saat kakiku bersenggolan dengan kursi di depanku.
Perlahan aku duduk dan memulai mengurut-urut kakiku yang terkena benturan kursi tadi. Gara-gara terpana melihat Diraz, kakiku merasakan nikmatnya bersentuhan dengan kursi. Pedih terasa di bagian kakiku, tapi aku merasa bahagia, masih bisa melihat Diraz hari ini.
“Nih kartu kuliahmu, Kha. Eh, kenapa kakimu diurut-urut seperti itu?” tanya Sonya mengamati tanganku yang menari-nari di atas kakiku.
Aku tersenyum menahan sakit, “Terbentur di kursi itu, Son.” kataku sambil menunjuk kursi di depanku.
“Kok bisa? Ada-ada saja kamu Mikha. Aku bantu mengurut kakimu ya.”


Beberapa menit kemudian setelah aku merasa kaki ini sudah cukup baikan, kami melangkah keluar ruangan dan menuju ke kantin untuk mengisi perut yang berontak meminta asupan energi. Lagi-lagi, sosok Diraz lewat di hadapanku. Kali ini aku berusaha untuk tidak tersandung kursi atau hal lain yang dapat menimbulkan kerugian pada anggota tubuhku. Sedikit gugup aku mencoba tenang membawa mangkuk yang berisi bakso favoritku ke salah satu meja yang telah ditempati Sonya. Begitu tampak kebencian di wajah Diraz saat dia tak sengaja menoleh ke arahku tadi. Aku tak tahu harus bagaimana, mau minta maaf tapi aku takut malah akan membuatnya marah
***
Hal rutin yang aku lakukan setiap pukul delapan malam adalah online lalu log in ke akun facebook. Kemudian membuka profil facebook Diraz. Hanya dengan melihat-lihatnya aku merasakan bahagia. Walau hampir setiap hari ketemu dan melihat Diraz karena kami selalu satu ruangan saat kuliah, aku tak pernah bosan mengamati facebook-nya sekedar ingin tahu keadaannya atau apa saja yang dia lakukan seharian ini dan tentu saja tak lupa melihat komentar-komentar dari setiap status yang dia tulis di sana. Sebenarnya sampai sekarang aku masih takut-takut untuk menjelajahi profil facebook Diraz, takut jika ketahuan oleh orang lain. Maka dari itu aku hanya membuka profilnya jika sudah berada di rumah Sekarang aku tidak lagi menjadi teman akrab juga teman di akun facebook Diraz sejak kejadian dua minggu yang lalu. Diraz yang telah berhasil mencuri hatiku, dia juga yang berhasil membuatku merasakan malu yang cukup besar pada kejadian dua minggu yang lalu.
Aku termenung membaca komentar dari statusnya 15 menit yang lalu.
‘Maafkan aku, aku lakukan ini demi kebaikanmu’
Komentar:
Clarabela Assyifa : ‘Dimaafkan yank, :D’
Diraz Pranata : ‘Hahaa Bela.’
Clarabela Assyifa: ‘Kenapa ketawa yank?’
Bela memanggil Diraz “yank”? Apa benar gosip yang kudengar beberapa hari yang lalu kalau Bela menyatakan cinta ke Diraz dan Diraz menerimanya.


Tapi kenapa masih berstatus lajang, belum ada perubahan status hubungan di facebook Diraz jika mereka telah resmi jadian. Setetes air bening keluar dari mataku. Tak sengaja dan tak kuinginkan. Aku menghapus air bening itu dari pelupuk mataku dan tersenyum. Mikha, kamu sudah terlanjur terdampar dan tenggelam di hatinya. Saat ini hanya ada satu yang bisa dilakukan. Ikhlas. Dengan begitu kamu akan merasa bahagia tanpa harus memiliki hati dan cintanya. Aku mengatakan kata-kata itu dalam hati guna menghibur diriku sendiri. Di depan laptopku yang masih menyala, aku melamun dan mengenang kembali kejadian dua minggu yang lalu. Kejadian yang tak bisa kulupakan.


“Teman-teman, lihat nih. Si Mikha lagi membuka profil facebook Diraz loh!” teriak Bela sambil merebut laptopku.
Aku cemas dan berusaha merebut kembali laptop itu dari tangan Bela. Tapi, kerumunan teman-teman yang penasaran membuat aku kesulitan. Aku hanya terdiam. Tak berapa lama kemudian Diraz datang dan langsung diseret Bela untuk melihat laptopku.
“Mikha benar-benar menyukaimu Diraz. Coba cek saja di document, foto-fotomu yang di facebook hampir semuanya di-download. Dasar cewek tak tahu malu,” caci Bela sambil memandang sinis padaku yang hanya bisa tertunduk pasrah.


Diraz melihat-lihat isi document di laptopku, wajahnya berubah ketika menemukan foto-fotonya ada di laptopku. Pandangannya beralih memperhatikan diriku yang berdiri kaku.
Tiba-tiba, gubraakk…!
Diraz memukul meja dengan keras hingga laptopku bergeser dan hampir terjatuh. “Hapus semua foto-fotoku! Jangan ganggu aku, aku tak sudi disukai oleh cewek sepertimu!” bentak Diraz emosi dan seketika melangkahkan kakinya menjauh. Bela tersenyum mengejek padaku kemudian menyusul Diraz yang sudah tak terlihat lagi.

Mimpi Buruk



Genre : Fantasi (Fiksi)

Carrine dengan wujud virtual sendirian di tempat yang entah apa namanya. dia merasa sedikit takut ketika kabut tebal mengelilinginya. kemudian Carrine melihat sesosok wanita yang sekarat. ketika didekatinya, Carrine sadar bahwa wanita itu adalah ibunya sendiri yang bernama Caroline Franz Hopper yang sering dikenal dengan Caroline Hopper.

“ibu…” kata Carrine yang mencoba menyentuhnya. dan seketika ibunya menghilang diiringi hembusan kabut. Carrine terdiam. dia menyesal karena tak dapat menyentuh bahkan memeluk ibunya yang sudah lama tak dilihatnya karena ibunya diculik. kemudian Carrine mendengar sebuah alunan musik piano. ketika ia mencari sambil menoleh ke kanan dan kiri, akhirnya dia bertemu seorang pria sedang bermain piano.

Carrine mendekati pria tersebut. betapa terkejutnya dia ketika pria tersebut adalah ayahnya sendiri yang bernama Mike Schaeffer yang dikenal dengan nama Mack Hopper. akhirnya Carrine berlari mendekati ayahnya karena dia takut akan kehilangan ayahnya seperti dia kehilangan ibunya barusan. ketika dia dan ayahnya sangat dekat, Carrine mencoba menyentuh ayahnya. betapa kagetnya Carrine ketika dia menyadari bahwa jari-jemarinya sudah menyentuh ayahnya. seketika Carrine memeluk ayahnya. dia pun juga dapat memeluk ayahnya. air mata mulai berderai dari matanya. “ayah, aku merindukanmu…” kata Carrine terisak.

Ayahnya hanya diam dan terus saja memaikan piano seakan-akan Carrine tak ada di dekatnya. Carrine juga diam dan terus saja memeluk ayahnya sekuat mungkin. tiba-tiba ayahnya menghilang bagaikan benang-benang yang beterbangan di dalam kegelapan. Carrine mulai ketakutan ketika dia di dalam sebuah tempat yang gelap gulita. di kegelapan itu ada sebuah cahaya kecil. Carrine mencoba mendekati cahaya kecil itu. kemudian dia merasa seolah-olah masuk ke dalam cahaya itu. di dalamnya dia bertemu Willson, temannya yang mungkin Carrine anggap pacarnya seperti ketika dia bertemu untuk pertama kalinya di antara dunia virtual dan nyata.

Carrine hanya terdiam. sebenarnya dia ingin mendekatinya, tapi dengan kejadian ibu dan ayahnya tadi, dia tak ingin Willson juga menghilang. Willson pun mendekati Carrine yang terdiam bagaikan patung. dan seketika Willson dikelilingi oleh benda asing dan menghilang. Carrine terbangun dari tidurnya lalu berteriak “AAAAAaaaaa!!!!!!!!!!!”. Carrine memegang kepalanya yang terasa sakit karena mimpi buruk itu. kemudian dia melirik ke arah jam “04.00″ itu yang ditunjukkan jam pada Carrine.

Keringat bercucuran di wajah dan tubuhnya sekalipun. Carrine menenangkan dirinya lalu terdengar suara “tok, tok, tok.” dari balik pintu. “hah, siapa itu?” kata Carrine yang terlihat sedang mencoba kembali tidur. “ini aku, Willson.” “oh, masuklah Willson…” kata Carrine. “kenapa kau berteriak Carrine?” “aku melihat ibuku sedang sekarat, lalu ibuku menghilang. aku juga bertemu ayahku dan kejadiannya sama dengan ibuku. aku pun bertemu denganmu aku tidak mendekatimu tapi kau mendekatiku, lalu kau dikelilingi benda asing dan menghilang.” kata Carrine dengan keringat dingin bercucuran di wajahnya.

“tenanglah. tak usah dipikirkan. itu hanya mimpi buruk. tak ada yang serius.” kata Willson membelai rambut pendek Carrine. “tapi mimpi itu seperti pernah terjadi padaku. itu membuatku takut.” air mata mulai menderai dipipinya. dia pun memeluk Willson. “tenanglah. mungkin kau mengalami mimpi buruk itu karena kau stress. aku tau bagaimana caranya untuk menghilangkan stressmu itu. aku ingin mengatakan sesuatu padamu…” kata Willson menggapai tangan Carrine yang terasa dingin seperti es yang baru didatangkan langsung dari kutub selatan. “apa itu?” tanya Carrine penasaran. “aku menyukaimu” kata Willson. “aku juga menyukaimu” kata Carrine. senyum pun mulai terlihat dari keduanya ketika mereka bertatapan langsung. mereka berpelukan. beberapa tetes air mata jatuh dari wajah Carrine. tapi air mata itu bukan air mata kesedihan dan ketakutan melainkan air mata kebahagiaan. mereka tidur bersama sambil berpelukan satu sama lain. walaupun hanya beberapa menit, tapi itu adalah menit-menit kebahagiaan.
                                               {selesai}

Kamis, 01 Oktober 2015

Sekolah Kebaikan


Genre : Fantasi (fiksi)

Angin menyapa gadis yang sedang duduk menatap bayangan wajahnya di permukaan air danau. Ia termenung tanpa menghiraukan apapun. Duduk termenung di tepi danau, angin menyibak rambut panjangnya. Wajah tirus dengan ekspresi datar menujukkan kesedihannya. Ia terus menatap bayangannya seakan ia sedang berbicara dengan bayangan wajahnya di permukaan air danau.

Gadis yang menatap bayangan wajahnya tampak terkejut, ia menyadari bahwa bayangannya benar–benar sedang berbicara padanya. Bayangannya tersenyum dan membenarkan keterkejutan gadis itu. Bayangan itu bertanya padanya apakah ia ingin menjadi orang yang dapat memberi manfaat untuk orang lain. Gadis itu menjawab “Tentu saja.” Bayangan itu dapat mengetahui perasaan gadis itu, perasaan yang tidak dibutuhkan dan perasaan yang selalu merasa diremehkan. Keinginan gadis itu sangat tulus, ia ingin menjadi seseorang yang dapat dibutuhkan oleh orang lain dan dapat diandalkan.

Bayangan gadis itu memintanya melihat ke atas langit, ia melihat awan yang memperlihatkan sekumpulan orang–orang yang berseragam putih, wajah mereka tampak bersinar, memancarkan sebuah kebaikan pada diri mereka. Gadis itu tersenyum memandang sekumpulan orang–orang yang berseragam putih tersebut.
“Bagaimana pendapatmu, apa kau ingin berada di antara mereka?” Sang bayangan bertanya.

“Siapa orang–orang yang berseragam putih itu? Ketika aku melihatnya, hatiku merasa damai sekali.”
“Mereka adalah orang–orang yang terpilih untuk melakukan kebaikan.” Jawab bayangannya. “Dan kau salah satu dari mereka, sebelum kau diangakat ke langit bergabung dengan mereka. Ada satu syarat yang harus dipenuhi, lakukanlah tiga kebaikan dalam waktu tiga hari. Setelah itu kembalilah ke danau ini.” Mendengar ucapan sang bayangan, Iqlima nama gadis itu tersenyum dengan perasaan yang masih belum percaya dengan apa yang ia lihat.

Ia senang sekali dan menyetujui syarat yang dikatakan sang bayangan.
“Satu lagi pertanyaanku, apa itu seperti sekolah kebaikan?” Tanyanya dan sang bayangan mengangguk.
“Benar, bisa dibilang seperti itu. Hanya seseorang yang memiliki niat yang baik berhak mendapatkan kesempatan ini. Apa sudah jelas? Sekarang kau pulanglah, persiapkan dirimu dan beritahu pada orangtuamu.”
Gadis itu merasa sudah paham. Ia pun bergegas pulang dengan perasaan bahagia. Bayangan itu pun menghilang tepat saat gadis itu berlalu pergi.
Iqlima memulai tugas pertama dan keduanya dengan sempurna, tinggal satu tugas lagi yang harus ia lakukan hari ini. Ia berniat keluar rumah mengelilingi kompleks rumahnya hanya sekedar mencari udara segar sekaligus mencari target kebaikannya.
Seorang wanita berumur empat puluh tahun dengan fisik yang masih tegap menghampiri Iqlima. Ia mendekati putrinya yang tengah mengarahkan pandanganya keluar rumah.
“Kau benar–benar sudah yakin dengan keputusanmu iq?” Tanya Ibunya dengan lembut.
“Tentu saja bu, ini keinginan terbesarku, aku senang sekali bisa memberi manfaat untuk orang lain. Ini adalah kesempatan dan misi yang harus aku lakukan.” Jawabnya menyakini Ibunya bahwa keputusannya adalah keputusan yang tepat. “Ibu jangan mengkhawatirkan aku, aku akan baik–baik saja. Doakan saja aku ya bu.” Ucap Iqlima memeluk Ibunya.
Seketika bayangan wajahnya muncul pada kaca jendela rumahnya.
“Pergilah ke danau, ketiga tugasmu sudah kau laksanakan dengan sempurna.” Ujar bayangannya lalu menghilang.

Iqlima belum sempat menanyakan sesuatu pada bayangan itu. Ia tidak mengerti bagaimana bisa ketiga tugasnya sudah terlaksanakan dengan baik sementara ia merasa tidak melakukan kebaikan apa pun hari ini.
“Ada apa, kau terlihat seperti orang yang kebingungan?” Tanya Ibunya melepaskan pelukan lalu memperhatikan raut wajah anaknya yang kebingungan.
“Ibu, sudah saatnya aku pergi. Jaga diri Ibu baik–baik. Aku pasti akan kembali, secepatnya bu.” Ujar Iqlima memeluk Ibunya dengan erat dan bergegas mengambil ranselnya di dalam kamarnya.
Ibunya terlihat sedih. Ia ingin sekali mencoba menahan anaknya agar tidak pergi. Saat Iqlima menyalami tangannya, ia menangis lalu memeluk anaknya dengan erat. “Jaga dirimu baik–baik iq, Ibu akan selalu mendoakanmu.” Ucap Ibunya melepaskan kepergian anaknya.
Iqlima terus berjalan dengan perasaan sedih yang ia sembunyikan dari Ibunya, ia tidak ingin Ibunya melihatnya menangis yang akan membuat Ibunya bertambah sedih. Ia berusaha memantapkan hatinya bahwa yang ia lakukan adalah tindakan yang mulia, menjadi agen kebaikan. Ia akan dilatih dan didik di sekolah kebaikan di langit.

Langkah kaki yang membawa niat mulianya berhenti tepat di mana ia mendapat tugas khusus. Ia mendekati air danau lalu melihat ke permukaan air tersebut. Gadis bernama Iqlima itu menatap bayangannya, seolah menanyakan apa yang harus ia lakukan. Bayangan itu meminta Iqlima melihat ke atas langit, ia melihat awan yang membentuk sebuah tangga menuju langit. Hal ini membuatnya mencoba untuk menyadarkan dirinya, apakah ini nyata atau hanya mimpi?. Iqlima menampar wajah dan mencubit tangannya. Ternyata benar sesuatu yang terjadi padanya ini adalah nyata bukan mimpi.
“Naiklah.” Pinta bayangannya.
“Baiklah, tapi aku ingin menanyakan satu hal. Sebenarnya kebaikan apa yang telah aku lakukan pada tugas terkhirku ini?” Tanyanya.
“Ketulusan dan cinta yang kau berikan pada Ibumu, itu adalah kebaikan” Ucap bayangan itu tersenyum. “Di atas sana akan ada seseorang yang menyambutmu, dialah pembimbingmu selama kau berada di sekolah kebaikan. Luluslah dengan cepat dan segera kembali ke keluargamu.”
“Tentu saja, sampai jumpa. Aku harap bisa bertemu denganmu, bayangan wajahku.” Ujar Iqlima mulai melangkah menaiki tangga itu.

Iqlima menatap bayangannya dengan tersenyum lalu melangkah menaiki tangga awan itu. Ia menatap lurus ke atas langit dan berusaha tidak melihat ke bawah. Ada perasaan sedih dan bahagia di dalam dirinya. Ia sedih karena harus meninggalkan Ayah dan Ibunya tapi ia juga bahagia karena ia akan bergabung dengan teman–teman baru yang akan mengajarkannya banyak kebaikan, ini adalah kesempatan untuknya bisa berguna untuk orang lain dengan belajar di sekolah kebaikan. Ia berjanji pada dirinya bahwa ia akan segera kembali kepada orangtuanya setelah mendapatkan ilmu kebaikan.
                                     {Selesai}